Ikut Indonesia, Inggris Ikut Prihatin Atas Tindakan Keras Junta Myanmar
Duta Besar (Dubes) Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste Owen Jenkins mengatakan Inggris bergabung dengan Indonesia dan banyak negara lain dalam mengungkapkan keprihatinan atas deklarasi keadaan darurat yang diberlakukan di Myanmar oleh militer pada 1 Februari.
Keprihatinan mereka juga terkait penahanan sewenang-wenang terhadap anggota pemerintah, termasuk Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint dan lainnya. Dubes Jenkins menambahkan Dewan Keamanan PBB telah menyerukan semua yang ditahan segera dibebaskan.
Baca Juga: Para Jenderal Myanmar Kena Gebuk Sanksi Inggris, Kira-kira Ngaruh Nggak?
Diplomat Inggris menggarisbawahi peran utama ASEAN dalam mengamankan keamanan dan perdamaian di kawasan. Sebagai grup multilateral terkemuka di Asia, Inggris menyambut baik pernyataan Pemimpin ASEAN—yang mengingatkan semua pihak bahwa kepatuhan pada prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum dan pemerintahan yang baik, penghormatan dan perlindungan HAM dan kebebasan fundamental.
Inggris, sambung Jenksin, menyerukan dialog, rekonsiliasi, dan kembali normal sesuai dengan keinginan dan kepentingan rakyat Myanmar.
Pernyataan diplomat tersebut bersamaan dengan pengumuman sanksi yang dijatuhkan Inggris terhadap tiga jenderal Myanmar.
Ketiga jenderal itu adalah Menteri Pertahanan Jenderal Mya Tun Oo bertanggungjawab atas pelanggaran HAM berat oleh militer, Menteri Dalam Negeri, Letnan Jenderal Soe Htut bertanggungjawab atas pelanggaran HAM berat oleh Kepolisian Myanmar, dan Wakil Menteri Dalam Negeri Letnan Jenderal Than Hlaing bertanggungjawab atas pelanggaran berat HAM oleh Kepolisian Myanmar.
“Ini adalah posisi Inggris, di mana terdapat bukti yang tak terbantahkan bahwa warga negara non-Inggris, yang tidak memenuhi syarat untuk diadili di Inggris, telah menyalahgunakan dan mengabaikan HAM—bahwa ketiga individu ini tidak boleh masuk ke Inggris dan menyalurkan uang melalui bank-bank Inggris atau mengambil keuntungan dari ekonomi Inggris. Tindakan ini menargetkan individu—bukan negara—dan merupakan upaya untuk menunjukan kepatuhan terhadap sistem internasional berbasis aturan serta membela korban-korban pelecehan dan pelanggaran HAM di dunia," papar Jenkins, Jumat (19/2/2021).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: