Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Diserang Habis-habisan, Junta Myanmar Siap-siap Dijatuhi Sanksi dari AS hingga Inggris

Diserang Habis-habisan, Junta Myanmar Siap-siap Dijatuhi Sanksi dari AS hingga Inggris Pengunjuk rasa anti-kudeta mengangkat tangan mereka dengan tangan terkepal selama demonstrasi di dekat Stasiun Kereta Api Mandalay di Mandalay, Myanmar, Senin, 22 Februari 2021. Seruan untuk pemogokan umum Senin oleh para demonstran di Myanmar yang memprotes perebutan kekuasaan oleh militer telah dilakukan. dihadapi oleh junta yang berkuasa dengan ancaman terselubung untuk menggunakan kekuatan yang mematikan, meningkatkan kemungkinan bentrokan besar. | Kredit Foto: AP Photo
Warta Ekonomi, Jakarta -

Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) menjatuhkan sanksi kepada pimpinan militer Myanmar, menyusul kudeta pada 1 Februari lalu. Ini adalah sanksi untuk kesekian kalinya. Junta dianggap telah menodai proses demokrasi di negara itu.

Senin siang (22/2/2021) waktu se­tempat, AS menjatuhkan sanksi terhadap dua anggota junta mi­liter Myanmar dan mengancam tindakan lebih lanjut atas kudeta di negara itu.

Baca Juga: Kedubes RI Digeruduk Massa Anti-kudeta Myanmar, Begini Respons dari Kemenlu

Kantor pengawasan Aset Luar Negeri Departemen Keuangan AS mengatakan, langkah itu ditujukan pada Jenderal Maung Maung Kyaw, yang merupakan Panglima Angkatan Udara dan Letnan Jenderal Moe Myint Tun, mantan Kepala Staf Militer dan Komandan salah satu operasi khusus militer. Biro yang mengawasi operasi dari kawasan Ibu Kota, Naypyidaw.

“Militer harus membatalkan tindakannya dan segera memulihkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis di Burma. Atau, Departemen Keuangan tidak akan ragu untuk mengambil tindakan lebih lan­jut,” tegas Kantor engawasan Aset Luar Negeri Departemen Keuangan AS dalam pernyataan dikutip Reuters, kemarin.

Sebelumnya, Inggris dan Kanada juga sudah menjatuhkan sanksi terhadap militer Myanmar.

Inggris menjatuhkan sanksi terhadap tiga jenderal Myanmar dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia serius terkait kudeta.

“Kami, bersama sekutu inter­nasional akan meminta pertang­gungjawaban militer Myanmar atas pelanggaran HAM mereka dan mengejar keadilan bagi rakyat Myanmar,” kata Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab, pekan lalu.

Para jenderal Myanmar yang dijatuhi sanksi oleh Inggris ada­lah Menteri Pertahanan Myan­mar Mya Tun Oo, Menteri Da­lam Negeri Soe Htut dan Wakil Menteri Urusan Dalam Negeri Than Hlaing.

Dikutip Reuters, Inggris juga berencana memantau setiap aliran dana sumbangan interna­sional agar tidak menguntung­kan militer, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Selain Inggris, Kanada juga melakukan hal serupa sebagai bentuk kecaman terhadap kudeta di Myanmar.

Terpisah, Menteri Luar Negeri Kanada Marc Garneau mengata­kan, negaranya akan menjatuh­kan sanksi kepada sembilan pejabat militer Myanmar.

Pemerintah Kanada mengang­gap kudeta memicu penahanan besar-besaran, kekerasan dan pengekangan praktik demokrasi di Myanmar.

Para menteri luar negeri UE juga sepakat menjatuhkan sanksi pada militer Myanmar atas kude­ta. Sanksi ini dikeluarkan bersama sanksi kepada sejumlah pejabat Rusia yang terlibat memenjarakan kritikus Rusia, Alexey Navalny.

Kepala Kebijakan Luar Negeri UE Josep Borrell mengatakan, meski menjatuhkan sanksi kepada militer Myanmar, UE tidak akan mengekang hubungan perdagangan dengan negara itu, karena dapat menimpa masyarakat.

“Kami mengambil kesepakatan politik untuk menerapkan sanksi yang menargetkan mili­ter,” kata Borrell.

Dia menambahkan, semua dukungan keuangan langsung dari sistem pembangunan untuk program reformasi Pemerintah akan ditahan.

KBRI Yangon Didemo

Gedung Kedutaan Besar Re­publik Indonesia (KBRI) di Yangon digeruduk massa anti­kudeta Myanmar, kemarin.

Massa mengepung gedung KBRI Yangon usai mendengar kabar bahwa Indonesia bersama sejumlah negara anggota ASEAN mendukung pemilihan umum yang diajukan pemerin­tahan junta.

“Protes telah berlangsung di Kedubes Indonesia di Yangon pagi ini, menyusul laporan yang muncul bahwa negara (RI) tengah membujuk negara ASEAN lain untuk mendukung pemilu baru yang diserukan junta militer ilegal,” cuit Hin Zaw, jurnalis Al Jazeera yang merupakan eks ko­responden Reuters di Myanmar.

Sejumlah foto pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi, yang masih ditahan militer juga turut terpampang dalam demonstrasi tersebut. “Kami tidak butuh pemilu baru!” seru para pedemo di depan Kedubes RI.

“Kami ingin Pemerintah yang telah kami pilih KEMBALI. Hormati suara kami!” bunyi spanduk lainnya.

Menanggapi situasi ini, Ke­menterian Luar Negeri (Kemlu) memastikan Indonesia tidak mendukung digelarnya pemilu baru di Myanmar.

Keterangan tersebut disampai­kan Juru Bicara Kemlu Teuku Faizasyah, merespons artikel kantor berita Inggris, Reuters.

Dalam artikel itu disebutkan, Menteri Luar Negeri Retno Mar­sudi mendorong adanya rencana aksi ASEAN mengirim peninjau untuk memastikan junta militer menggelar pemilu dengan adil.

Menurut Faizasyah, pemberi­taan Reuters tidak benar. Sampai saat ini, Pemerintah Indonesia tidak pernah mengeluarkan pernyataan seperti yang tertuang di artikel tersebut.

“Terlalu dini kalau disebut rencana aksi yang salah satunya menyebutkan seakan-akan mendukung adanya proses pemilu baru di Myanmar,” tegas Faizasyah dalam keterangan pers virtual Kemlu.

“Itu sama sekali bukan posisi Indonesia. Karena yang ingin kita garis bawahi, bagaimana kita men­cari penyelesaian damai di Myan­mar yang bersifat proses politik demokrasi inklusif yang melibat­kan semua pihak,” jelasnya.

Seperti diketahui, krisis di Myanmar terjadi sejak 1 Feb­ruari 2021. Saat itu, militer melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil.

Usai kudeta, militer member­lakukan kondisi darurat. Warga Myanmar merespons dengan menggelar unjuk rasa besar setiap hari dan mogok massal.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: