Diserang Habis-habisan, Junta Myanmar Siap-siap Dijatuhi Sanksi dari AS hingga Inggris
Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) menjatuhkan sanksi kepada pimpinan militer Myanmar, menyusul kudeta pada 1 Februari lalu. Ini adalah sanksi untuk kesekian kalinya. Junta dianggap telah menodai proses demokrasi di negara itu.
Senin siang (22/2/2021) waktu setempat, AS menjatuhkan sanksi terhadap dua anggota junta militer Myanmar dan mengancam tindakan lebih lanjut atas kudeta di negara itu.
Baca Juga: Kedubes RI Digeruduk Massa Anti-kudeta Myanmar, Begini Respons dari Kemenlu
Kantor pengawasan Aset Luar Negeri Departemen Keuangan AS mengatakan, langkah itu ditujukan pada Jenderal Maung Maung Kyaw, yang merupakan Panglima Angkatan Udara dan Letnan Jenderal Moe Myint Tun, mantan Kepala Staf Militer dan Komandan salah satu operasi khusus militer. Biro yang mengawasi operasi dari kawasan Ibu Kota, Naypyidaw.
“Militer harus membatalkan tindakannya dan segera memulihkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis di Burma. Atau, Departemen Keuangan tidak akan ragu untuk mengambil tindakan lebih lanjut,” tegas Kantor engawasan Aset Luar Negeri Departemen Keuangan AS dalam pernyataan dikutip Reuters, kemarin.
Sebelumnya, Inggris dan Kanada juga sudah menjatuhkan sanksi terhadap militer Myanmar.
Inggris menjatuhkan sanksi terhadap tiga jenderal Myanmar dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia serius terkait kudeta.
“Kami, bersama sekutu internasional akan meminta pertanggungjawaban militer Myanmar atas pelanggaran HAM mereka dan mengejar keadilan bagi rakyat Myanmar,” kata Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab, pekan lalu.
Para jenderal Myanmar yang dijatuhi sanksi oleh Inggris adalah Menteri Pertahanan Myanmar Mya Tun Oo, Menteri Dalam Negeri Soe Htut dan Wakil Menteri Urusan Dalam Negeri Than Hlaing.
Dikutip Reuters, Inggris juga berencana memantau setiap aliran dana sumbangan internasional agar tidak menguntungkan militer, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Selain Inggris, Kanada juga melakukan hal serupa sebagai bentuk kecaman terhadap kudeta di Myanmar.
Terpisah, Menteri Luar Negeri Kanada Marc Garneau mengatakan, negaranya akan menjatuhkan sanksi kepada sembilan pejabat militer Myanmar.
Pemerintah Kanada menganggap kudeta memicu penahanan besar-besaran, kekerasan dan pengekangan praktik demokrasi di Myanmar.
Para menteri luar negeri UE juga sepakat menjatuhkan sanksi pada militer Myanmar atas kudeta. Sanksi ini dikeluarkan bersama sanksi kepada sejumlah pejabat Rusia yang terlibat memenjarakan kritikus Rusia, Alexey Navalny.
Kepala Kebijakan Luar Negeri UE Josep Borrell mengatakan, meski menjatuhkan sanksi kepada militer Myanmar, UE tidak akan mengekang hubungan perdagangan dengan negara itu, karena dapat menimpa masyarakat.
“Kami mengambil kesepakatan politik untuk menerapkan sanksi yang menargetkan militer,” kata Borrell.
Dia menambahkan, semua dukungan keuangan langsung dari sistem pembangunan untuk program reformasi Pemerintah akan ditahan.
KBRI Yangon Didemo
Gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yangon digeruduk massa antikudeta Myanmar, kemarin.
Massa mengepung gedung KBRI Yangon usai mendengar kabar bahwa Indonesia bersama sejumlah negara anggota ASEAN mendukung pemilihan umum yang diajukan pemerintahan junta.
“Protes telah berlangsung di Kedubes Indonesia di Yangon pagi ini, menyusul laporan yang muncul bahwa negara (RI) tengah membujuk negara ASEAN lain untuk mendukung pemilu baru yang diserukan junta militer ilegal,” cuit Hin Zaw, jurnalis Al Jazeera yang merupakan eks koresponden Reuters di Myanmar.
Sejumlah foto pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi, yang masih ditahan militer juga turut terpampang dalam demonstrasi tersebut. “Kami tidak butuh pemilu baru!” seru para pedemo di depan Kedubes RI.
“Kami ingin Pemerintah yang telah kami pilih KEMBALI. Hormati suara kami!” bunyi spanduk lainnya.
Menanggapi situasi ini, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) memastikan Indonesia tidak mendukung digelarnya pemilu baru di Myanmar.
Keterangan tersebut disampaikan Juru Bicara Kemlu Teuku Faizasyah, merespons artikel kantor berita Inggris, Reuters.
Dalam artikel itu disebutkan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mendorong adanya rencana aksi ASEAN mengirim peninjau untuk memastikan junta militer menggelar pemilu dengan adil.
Menurut Faizasyah, pemberitaan Reuters tidak benar. Sampai saat ini, Pemerintah Indonesia tidak pernah mengeluarkan pernyataan seperti yang tertuang di artikel tersebut.
“Terlalu dini kalau disebut rencana aksi yang salah satunya menyebutkan seakan-akan mendukung adanya proses pemilu baru di Myanmar,” tegas Faizasyah dalam keterangan pers virtual Kemlu.
“Itu sama sekali bukan posisi Indonesia. Karena yang ingin kita garis bawahi, bagaimana kita mencari penyelesaian damai di Myanmar yang bersifat proses politik demokrasi inklusif yang melibatkan semua pihak,” jelasnya.
Seperti diketahui, krisis di Myanmar terjadi sejak 1 Februari 2021. Saat itu, militer melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil.
Usai kudeta, militer memberlakukan kondisi darurat. Warga Myanmar merespons dengan menggelar unjuk rasa besar setiap hari dan mogok massal.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: