Sudah lebih dari sebulan setelah dilantik, Presiden Amerika Serikat(AS), Joe Bidentampaknya telah merangkul pendekatan yang sangat berbeda ke Iran dan Timur Tengah, dengan apa yang dia sampaikan saat masa kampanye. Biden tampaknya akan "mengikuti" kebijakan yang sebelumnya diambil oleh Donald Trump.
Dari mulai menunda-nunda untuk bergabung kembali dengan kesepakatan nuklir 2015 dengan Iran, hingga memerintahkan serangan militer yang menargetkan milisi yang didukung Iran di Suriah. Pemerintahan Biden telah mengacak-acak beberapa masalah di Teheran.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Saeed Khatibzadeh menunjukan beberapa kegusaran negaranya. Dia menyebut, beberapa langkah yang diambil oleh Biden "lebih buruk" daripada Trump, yang pada tahun 2018 meluncurkan "kampanye tekanan maksimum" terhadap Teheran.
Ali Ahmadi, seorang analis kebijakan luar negeri dengan fokus pada hubungan Iran-AS menuturkan, alih-alih membuat perubahan, baik besar atau kecil, pemerintahan Biden tampaknya lebih condong untuk melanjutkan kebijakan pemerintahan sebelumnya.
Baca Juga: Lagi Diancam Israel, Iran Bolak-balik Pamerin Kota Rudal Bawah Tanahnya
“Hingga saat ini, kebijakan keamanan Biden mengenai Timur Tengah, dibandingkan dengan kebijakan Trump, lebih ditentukan oleh kontinuitas daripada perubahan,” ucap Ahmadi, seperti dilansir Anadolu Agency.
"Keengganan Biden untuk bergabung kembali dengan pakta nuklir 2015 sebagai pendahulu untuk meredakan ketegangan, telah membuat para pejabat Iran "sangat curiga" dan menyiratkan bahwa ada perhitungan strategis bahwa Biden tidak jujur," sambungnya.
Kelanjutan kebijakan Trump tentang Iran oleh Biden sejauh ini tidak berjalan baik dengan Teheran, yang mengharapkan pendekatan yang berbeda dari pemerintahan AS yang baru.
Serangan yang dilakukan AS pada awal Maret di wilayah perbatasan Suriah-Irak, yang pertama diizinkan oleh Biden sejak menjabat, yang dilaporkan menewaskan milisi pro-Iran.
Iran mengutuk serangan itu dan menyebutnya sebagai "agresi ilegal", serta memperingatkan bahwa hal itu dapat memperburuk konflik militer, dan semakin mengguncang kawasan.
Abas Aslani, analis dari Center for Middle East Strategic Studies (CMESS), mengatakan, serangan itu menunjukkan bahwa kebijakan pemerintahan Biden tidak jauh berbeda dengan Trump.
"Pemerintahan Biden tampaknya lebih condong ke arah kehadiran Amerika di kawasan itu. Serangan baru-baru ini dan kecenderungan untuk mempertahankan kehadiran militer di beberapa bagian kawasan dapat memicu ketegangan dan mengurangi kemungkinan de-eskalasi," ujarnya.
Javad Heirannia, Direktur Riset Ilmiah dan Pusat Kajian Strategis Timur Tengah, mengatakan, serangan itu bertujuan untuk menunjukkan bahwa AS akan bertindak keras untuk melindungi kepentingannya di kawasan itu.
Baca Juga: Biden Susun Rencana Perbaiki Hubungan AS dengan Palestina, Kapan?
"Biden ingin menunjukkan bahwa sementara dia berusaha menyelesaikan masalah nuklir Iran melalui diplomasi, dia juga akan bereaksi keras terhadap setiap perilaku Iran di kawasan yang mengancam kepentingan AS," katanya.
Heirannia kemudian mengatakan, masalah nuklir Iran terkait dengan masalah regionalnya, karena Teheran menolak seruan untuk menghubungkan kebangkitan perjanjian 2015 dengan program misilnya.
“Jalan keluar dari situasi ini adalah sambil fokus pada penyelesaian masalah nuklir, masalah regional juga harus diselesaikan dalam kerangka dialog regional,” katanya.
Dia menegaskan, bahwa Iran tidak mungkin bernegosiasi jika merasa keseimbangan kekuatan akan terjadi, di mana ini akan merugikan mereka.
Namun, sejumlah analis dan pengamat lainnya berpandangan bahwa Biden tidak akan sepenuhnya mengikuti kebijakan pendahulunya di Iran, garis pemikiran yang mereka sebut "kenaifan politik".
Analis kebijakan Timur Tengah, Sadrodin Moosavi mengatakan, diharapkan untuk memperkenalkan kebijakan luar negeri Timur Tengah baru, di mana Washington akan menekan ambisi Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammad Bin Salman dan secara bersamaan membuat keseimbangan antara Iran dan Saudi.
"Faktanya, baik Iran dan AS tertarik untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir, tetapi kedua belah pihak bergerak maju dengan hati-hati untuk mengambil lebih banyak, tetapi memberi lebih sedikit dalam proses memberi dan menerima,” kata Moosavi.
Apa yang tampaknya memperumit masalah lebih lanjut adalah tindakan Iran baru-baru ini untuk menghentikan implementasi protokol tambahan ke Perjanjian Non-Proliferasi (NPT), yang membatasi akses pengawas nuklir PBB ke situs nuklir Iran.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Fajar Sulaiman
Tag Terkait: