Terbakarnya tangki minyak Pertamina di Kilang Balongan membuat sejumlah pihak satu per satu turut memberikan pandangan dan analisisnya. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), misalnya, menyatakan bahwa tidak ada petir yang menyambar saat peristiwa itu terjadi pada Senin (29/3) lalu. Pernyataan tersebut didasarkan pada monitoring alat lightning detector yang ada di BMKG Jakarta dan Bandung, yang merekam fakta bahwa tidak terdeteksi adanya aktivitas sambaran petir di wilayah kilang minyak Balongan, Indramayu.
Namun, pandangan dari BMKG tersebut segera dipatahkan oleh Kepala Pusat Penelitian Petir, Lightning Research Center (LRC), Sekolah Teknik Elektro & Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung (ITB), Profesor Reynaldo Zoro. “Peralatan lightning detector yang dipakai BMKG menurut Saya kurang akurat karena dia bukan untuk evaluasi yang sifatnya detil. Alat itu lebih banyak (digunakan) ke arah (pemantauan kondisi) cuaca. Jadi terlalu dini kalau BMKG sudah berani menyatakan bahwa tidak ada sambaran petir di daerah sekitar Balongan saat kebakaran itu terjadi,” ujar Zoro, kepada media, Jumat (4/2).
Menurut Zoro, ada dua hal penting dalam mengevaluasi sebuah lightning detection system. Dua hal tersebut meliputi local accuration dan detection efficiency. Dan dalam pandangan Zoro, dua hal penting itu tidak bisa diukur dengan peralatan yang dimiliki oleh BMKG. Sebagai pembanding, Zoro pun menyuguhkan data-data lain yang justru berbeda dengan data yang disajikan oleh BMKG. Termasuk data satelit Himawari yang selama ini dikenal sangat akurat. “Peralatan BMKG itu agak berbeda. Ada berbagai data lain yang justru menyebut bahwa di sekitar Balongan sekitar pukul 00.00 sampai 03.00 WIB ada pergerakan badai petir. Pengamatan Himawari bahkan menyebut (badai petir terjadi) dari sore sampai pukul lima pagi, dan konsentrasi petir tertinggi justru pada waktu yang diklaim BMKG tidak ada petir itu,” ungkap Zoro.
Tak hanya kali ini, Zoro mengklaim bahwa kurangnya akurasi lightning detector milik BMKG tersebut sudah pernah beberapa kali terjadi. Pada 21 Juli 2020, misalnya, ketika terjadi sambaran petir di Tower 18 milik PT Inalum di dekat Danau Toba, Sumatera Utara. “Ketika itu kami meminta data petir ke BMKG dan ternyata data mereka menyebut bahwa cluster petir berjarak 80 kilometer dari Tower 18 PT Inalum. Melencengnya jauh banget,” papar Zoro. Karena itu, Zoro menilai bahwa faktor petir masih menjadi satu kemungkinan penyebab terbakarnya tangki kilang di Balongan. Terlebih, petir tropis yang memang memiliki kekuatan lebih besar dibanding petir sub tropis.
Petir tropis disebut Zoro memiliki sambaran tinggi, amplitudo besar, gelombang sangat curam, impulse force-nya yang bisa mengancurkan, dan muatan arus petir yang juga jauh lebih besar. “Sebenarnya tangki-tangki Pertamina memenuhi standar pengamanan. Hanya saja, karena petir tropis memang sangat kuat, sehingga bisa membuat tangki berlubang,” jelas Zoro. Dan ketika tangki berlubang, lanjut Zoro, maka kebakaran jadi mungkin terjadi. Hal itu karena tiga komponenan penyebab kebakaran adalah spark yang berasal dari petir, bahan bakar, dan oksigen. “Tadinya oksigen tidak ada. Tapi ketika tangki bolong, maka ada ruang untuk oksigen. Dan secara historis kan memang banyak kebakaran tangki kilang yang disebabkan sambaran petir. Saking banyaknya sampai pernah dibukukan. Dalam buku itu dijelaskan tentang tangki kilang yang pernah terbakar akibat petir. Termasuk di kilang Malaysia,” tegas Zoro.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Taufan Sukma
Editor: Taufan Sukma
Tag Terkait: