Dalam praktiknya, pemilik merek terkenal seringkali menerapkan dilution doctrine atau doktrin dilusi merek demi melindungi mereknya. Dilusi merek sendiri merupakan prinsip dalam hukum merek yang mengizinkan pemilik merek terkenal untuk melarang pihak lain menggunakan merek mereka dengan cara-cara yang dapat mengancam keunikan merek dan mengurangi kekuatan merek tersebut, sehingga dapat mengakibatkan kebingungan konsumen.
Padahal, jika kondisi diatas dikaitkan dengan doktrin dilusi merek (trademark dilution doctrine), maka hal tersebut dapat berpotensi melemahkan (dilute) esensi keunikan dan perbedaan dari merek terkenal tersebut, sekaligus dapat merugikan pemilik merek selaku pemegang hak yang sah.
“Kerugian bisa berupa hilangnya daya saing produk bermerek di pasar, kebingungan konsumen, serta kerugian komersial lainnya,” kata Ibrahim, Hakim Agung Mahkamah Agung, dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu (7/4/2021).
Baca Juga: Banyak Sengketa Mereka, Seberapa Penting Perlindungan Merek Terkenal?
Dalam kesempatan yang sama, Justisiari P. Kusumah, Executive Director MIAP (Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan) menilai, konsep dilusi merek tidak dapat serta merta diterapkan untuk merek sekunder (secondary brand).
“Mereksekunder ini biasanya dikenal juga sebagai nama varian (variant name) atau merek dagang yang merupakan suatu kalimat atau istilah yang deskriptif dan bukan merupakan elemen utama dari kesatuan merek tersebut, serta bertujuan untuk menjelaskan fungsi dari produk. Kalimat/istilah deskriptif mengandung kata-kata yang umum digunakan sehari-hari (generic words) oleh konsumen dan pelaku usaha,” jelas Justisiari.
Meskipun tidak ada regulasi khusus tentang dilusi merek, menurut Dr. Ibrahim, sejatinya Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek) sudah mengatur penggunaan istilah generik dan kalimat deskriptif dalam merek dagang yang terdaftar. Pasal 22 dari UU Merek menyatakan, sebagai berikut: “Terhadap merek terdaftar yang kemudian menjadi nama generik, setiap orang dapat mengajukan Permohonan Merek dengan menggunakan nama generik dimaksud, dengan tambahan kata lain sepanjang ada unsur pembeda.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, menurut Justisiari, suatu nama atau merek produk atau jasa yang mengandung suatu kata generik yang sama hanya dapat dilindungi jika secara keseluruhan nama produk atau merek tersebut memiliki unsur esensial yang telah memiliki daya pembeda terkait dengan produk tersebut. Contohnya, suatu ilustrasi kasus terkaitpenggunaan nama “ABC TOP QUALITY” dan “AMANI QUALITY” sebagai suatu merek produk sepatu. Yang dimiliki oleh dua pihak berbeda.
Justisiari menjelaskan, kalimat QUALITY dalam Bahasa Inggris bermakna “KUALITAS”, yaitu suatu kata yang sangat deskriptif (merupakan suatu penjelasan dari produk) dan sudah umum, sehingga tidak dapat dimonopoli oleh pihak manapun.
“Selain itu, kata “QUALITY” bukanlah merek utama (Main Brand) dari kedua produk itu, melainkan hanya merek sekunder (Secondary Brand) atau kata tambahan yang tidak dominan. Sehingga salah satu pihak pemilik merek di atas tidak seharusnya menggugat pihak lainnya dengan menerapkan konsep trademark dilution, dengan alasan penggunaan kata QUALITY dinilai telah mengecoh konsumen dan mengurangi keunikan dan menyebabkan kerugian bagi si penggugat,” jelas Justisiari.
Baca Juga: UU Merek Terlampau Luas, Identifikasi Merek Terkenal Butuh Pembuktian
Pendapat serupa disampaikan Guru Besar Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Prof. Dr. Rahmi Jened yang menjelaskan bawah setiap klaim atas generic term (istilah generik) untuk memperoleh hak eksklusif Merek harus ditolak, karena pengaruhnya akan memberikan hak monopoli tidak hanya pada tanda yang digunakan sebagai Merek, tetapi juga pada produk. Dan hal ini membuat tidak berdaya pesaing untuk dapat secara efektif memberi nama kepada produk yang diusahakan untuk dijualnya.
Resiko terjadinya praktek monopoli dan persaingan yang tidak sehat itu tentunya bukan dampak yang dinanti oleh para pihak yang bersengketa maupun pihak manapun. Akan tetapi hal ini menjadi sangat potensial terjadi jika konsep dilusi ini disalahgunakan dan diterapkan dalam merek sekunder. Oleh karena itu, jika hal ini terjadi di Indonesia, putusan yang seadil-adilnya diharapkan terjadi setelah mempertimbangkan berbagai argumen dan contoh kasus dan ilustrasi yang dipaparkan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: