Iring-iringan mobil meninggalkan pusat kota Meumere NTT ke arah barat laut. Angin semilir menyapa dari bibir pantai sepanjang jalan Trans Flores. Hijau savana di bukit pegunungan pada satu sisi, serta biru Laut Flores di sisi yang lain, mengusap lelahnya mata.
Usai menempuh perjalanan sejauh 29 kilometer, mobil melambat di Desa Reroroja, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka. Berbelok ke kanan memasuki halaman luas sebuah rumah sederhana. Di situlah tinggal Mama Nona, perempuan 71 tahun bernama lengkap Angelina Nona.
Baca Juga: Ternyata Yeti Palsu! Pejabat Rusia Beberkan Akal-akalan di Balik Kisahnya
Dialah janda mendiang Baba Akong, salah satu "orang besar" di dunia pelestarian alam yang wafat pada hari Rabu, tanggal 6 Maret 2019, pada usia 71 tahun. Sore itu, Mama Nona bertabur bahagia menerima kunjungan dadakan Kepala BNPB, Letjen TNI Doni Monardo.
Di antara kesibukan mengoordinasi penanggulangan bencana di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Doni menyempatkan diri menengok warisan almarhum Baba Akong, berupa hutan mangrove yang terhampar di Pantai Ndete yang berlokasi persis di belakang rumahnya. Agaknya, Doni memang selalu merasa mendapat semprotan energi baru saat menyaksikan pohon rimbun, subur, atau pohon langka, apapun jenis pohon itu. Berdiskusi tentang pohon dengan mantan Dan Paspampres ini bisa lupa waktu karena ia mengenali secara fasih aneka jenis pohon, baik nama, asal, bahkan sejarahnya.
Sore itu, Doni menyaksikan satu per satu pohon mangrove (bakau) yang ada di sana, tumbuh dari jerih payah Baba Akong. Baba Akong adalah seorang nelayan. Setidaknya, sejak menikahi Angelina Nona pada tahun 1975. Sebelumnya, Baba Akong yang keturunan China asal Atambua itu adalah pedagang di Kota Maumere.
Saat jumpa pertama kali dengan Nona, Akong yang bernama asli Viktor Emanuel Rayon adalah seorang kasir di Toko Kalimas, Maumere. "Kebetulan saya sering belanja ke toko dia. Dari situ, lama-lama muncul perasaan suka satu sama lain. Tuhan yang mengirim dia menjadi jodoh mama," ujar Mama Nona.
Usai menikah, Baba Akong tinggal di rumah Mama Nona dan meninggalkan dunia toko, beralih menjadi nelayan. Pertama-tama, ia membangun kolam ikan bandeng di belakang rumah yang tidak jauh dari pantai. Baba Akong juga melaut, menjala ikan di Laut Flores bersama para nelayan lain Desa Reroroja.
Meski perawakannya kecil, Baba Akong dikenal sigap. Tidak heran, jika hasil tangkapan ikan Baba Akong tidak saja cukup untuk makan bersama keluarga, tetapi juga bisa dijual sebagai sumber nafkah.
"Anak kami enam, tiga perempuan, tiga laki-laki," kata Mama Nona seraya menambahkan, "Puji Tuhan, semua sudah berkeluarga. Saat ini, satu anak laki-laki menemani Mama di sini. Kebetulan ia punya istri orang Jember, Jawa Timur."
Keluarga ini kemudian dikenal sebagai tokoh pelestari lingkungan, berkat kegigihan Baba Akong menanami kawasan pantai belakang desanya dengan bakau. Tahun 2008, Baba Akong diberi penghargaan Kalpataru kategori Perintis Lingkungan oleh Menteri Lingkungan Hidup, Ir Rachmat Witoelar.
Setahun kemudian, 2009, Baba kembali meraih penghargaan Kalpataru kategori yang sama dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Baba pun berkesempatan menginjak karpet merah Istana Negara bersama Angelina Nona, istri yang setia mendampinginya.
Selain Kalpataru, Baba Akong juga meraih penghargaan Film Dokumenter Metro TV Program Presiden "Hijaulah Indonesiaku" berjudul "Prahara Tsunami Bertabur Bakau". Program itu diikuti 25 peserta dari Sabang sampai Merauke. "Dua kali kami diundang di acara Kick Andy Metro TV," ujar Mama Nona, mengenang.
Baba "Gila"
Ganjaran anugerah serta puja-puji banyak kalangan, bukan datang tiba-tiba. Itu semua terjadi setelah Baba Akong melewati pergulatan panjang. Apa yang ia lakukan, awalnya dicemooh banyak orang, bahkan sempat tidak mendapat dukungan dari istri dan anak-anaknya. Nama Baba Akong pun oleh para tetangga diubah menjadi Baba Gila.
"Itu benar. Jangankan orang-orang, saya sendiri awalnya tidak setuju. Saya bilang, nenek moyang kita tidak pernah menanam bakau. Pohon bakau di pantai itu tumbuh sendiri," kata Mama Nona.
Itu terjadi awal tahun 1993, tidak lama setelah peristiwa gempa disusul tsunami dahsyat yang terjadi pada 12 Desember 1992. Saat itu, banyak korban meninggal, tidak sedikit warga kehilangan rumah. "Kami selamat karena langsung lari ke bukit. Tapi, rumah kami rata tanah tak ada sisa. Yang tersisa hanya baju yang kami pakai," kenang Mama Nona, wanita berperawakan mungil, tetapi tetap gesit di usia yang ke-71.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: