Dengan melihat bahwa keputusan aparatur negara, dalam hal ini pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), telah sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Prof Agus Surono, meminta masyarakat untuk segera menyudahi polemik yang menurutnya tidak konstruktif berkenaan dengan persoalan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) di KPK.
Dalam pada itu Prof Agus juga mendukung sikap Kepala Kantor Staf Kepresiden, Moeldoko, yang pada beberapa berita media massa menyerukan permintaan kepada masyarakat untuk menyudahi polemik. Moeldoko mengatakan, polemik yang ada hanya menguarkan energi negatif dan menimbulkan praduga tak konstruktif yang ditujukan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Moeldoko benar saat mengatakan bahwa hasil tes wawasan kebangsaan (TWK) dalam proses alih status pegawai sebagai aparatur sipil negara (ASN) sudah final. Itu memang sepenuhnya kewenangan dari pimpinan KPK secara kolektif kolegial. Apalagi TWK itu pun bisa dianggap sebagai interpretasi pimpinan KPK untuk menjalankan amanah Revisi UU KPK no 19/2019," kata Prof Agus dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (29/5/21).
Baca Juga: Vaksinasi Lansia, Upaya Menjaga dan Sayangi Orang Tua
Agus juga menyepakati imbauan KSP Moeldoko, yang alih-alih mengobarkan polemik, justru mengajak masyarakat memberi kepercayaan penuh pada lembaga antirasuah itu untuk membenahi dan memperkuat diri, serta menindak koruptor dengan tidak pandang bulu.
"Saatnya KPK kembali berkonsentrasi pada tugas pokok dan fungsinya dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi,” kata Moeldoko.
Menurut Prof Agus Surono, keputusan KPK adalah keputusan aparatur negara. Sementara keputusan aparatur negara dijamin oleh undang-undang dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB).
Karena itu, tes TWK harus dimaknai sebagai upaya penguatan KPK dalam mendukung tugas dari KPK dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Tes TWK juga merupakan program yang sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, yang merupakan revisi UU KPK. Agus menunjuk Pasal 1 ayat 6 UU 19 Tahun 2019, yang menyebutkan bahwa “Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan aparatur sipil negara.”
Selain itu, TWK pun, kata Prof Agus, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN), serta Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Status Pegawai Menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam Perkom itu, diatur tentang pegawai KPK yang beralih jadi ASN tidak boleh terikat kegiatan organisasi terlarang. Dalam Perkom tersebut terdapat sejumlah kategori untuk pegawai KPK seperti tercantum dalam Pasal 1 Perkom Nomor 1 Tahun 2021.
"Jadi, TWK sepenuhnya merupakan kewenangan dari pimpinan KPK secara kolektif kolegial dan hal itu merupakan keputusan yang dapat dikualifikasi sebagai beskhiking yang mengikat dan sah secara hukum karena telah sesuai dengan AAUPB (Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik) dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang saya sebutkan tadi," kata dia.
Baca Juga: Partai Demokrat Mencak-Mencak! KPK Gak Nurut Sama Presiden Jokowi
Prof Agus juga mengatakan, keputusan pimpinan KPK yang sah dan mengikat itu pun harus selalu dianggap dan selaras dengan prinsip Presumptio Iustae Causa, yakni bahwa setiap keputusan Aparatur Negara, termasuk polemik keputusan pimpinan KPK yang dikeluarkan tersebut, harus dan selayaknya dianggap benar menurut hukum.
"Konsekuensinya, ia dapat dilaksanakan lebih dahulu selama belum bisa dibuktikan sebaliknya," kata Prof Agus.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Lestari Ningsih