Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Aturan Berbusana Bukan Hanya tentang Pakaian, tapi Pelanggaran Kemanusiaan dan Keadilan

Aturan Berbusana Bukan Hanya tentang Pakaian, tapi Pelanggaran Kemanusiaan dan Keadilan Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Aturan berbusana yang diterapkan di insitusi pendidikan tingkat sekolah menimbulkan tindakan diskriminasi serta perundungan. Namun, SKB 3 Menteri yang mengatur hak bebas memilih cara berpakaian dalam lingkungan sekolah dicabut oleh Mahkamah Agung (MA) pada Mei 2021 lalu.

Psikolog klinik Ifa Hanifah Misbach menilai, keputusan tersebut membuat anak dan perempuan tidak terlindungi dari perundungan yang begitu intensif akibat pemaksaan aturan berbusana.

Baca Juga: Pencabutan SKB 3 Menteri Dinilai Tidak Terapkan Asas Transparansi

"Bagi kami, ini bukan sesederhana masalah pakaian semata. Kami melihat lebih dalam dari itu. Ini masalah kemanusiaan dan keadilan untuk memulihkan martabat perempuan memilih identitas dirinya," tegas Ifa pada diskusi virtual Seruan Indonesia: Hentikan Perundungan dan Intimidasi Lewat Aturan Berbusana, Jumat (4/6/2021).

Ifa mengatakan, SKB 3 Menteri tentang aturan seragam sekolah ini sudah dinanti sejak lama, terutama oleh kaum minoritas yang sering mengalami diskriminasi dan para pejuang toleransi agama yang selama ini tidak mampu melawan peraturan daerah syariah dan satuan pendidikan yang otoriter.

"Terutama anak dan guru perempuan yang sering dipaksa mengenakan jilbab sebagai upaya mengontrol tubuh oleh sekolah dan Pemerintah Daerah (Pemda) yang bersikap intoleran," lanjut Ifa.

Pasalnya, aturan berjilbab tersebut telah melahirkan beragam tindakan diskriminasi yang merugikan kaum perempuan.

Di sebuah provinsi, seorang guru laki-laki melakukan pelecehan seksual kepada siswi dengan dalih siswi tersebut tidak berjilbab. Kemudian, banyak sekolah negeri yang memotong rambut siswi dan mempertontonkannya secara demonstratif, bahkan pakaian mereka dicoret dengan spidol. Di beberapa sekolah bahkan menghukum siswi tidak berjilbab dengan menurunkan prestasi akademik mereka.

Kemudian, dampak yang paling mengkhawatirkan adalah percobaan bunuh diri oleh seorang siswi muslim yang terintimidasi akibat aturan tersebut.

Ifa memaparkan, tindakan perundungan ini berpotensi memiliki dampak jangka panjang. Jika anak perempuan saat ini menjadi korban perundungan atas pemaksaan berjilbab, hal ini bisa menyebabkan sang anak melakukan siklus perundungan yang sama kepada anaknya ketika menjadi seorang ibu nantinya.

Menurut Ifa, cara mendidik anak perempuan sama dengan mendidik suatu generasi. Artinya, suram tidaknya masa depan Indonesia akan ditentukan dari seberapa banyak ibu yang bisa melahirkan generasi muda yang mampu menghargai keberagaman dan kemanusiaan.

"Karena seorang ibu adalah guru pertama dan utama bagi anak-anak nantinya," tutur Ifa.

Oleh sebab itu, Ifa meminta kepada Presiden Jokowi dan menteri terkait untuk mengeluarkan peraturan baru yang akan melindungi anak dan perempuan dari diskriminasi dan perundungan atas pemaksanaan berbusana. Ifa menegaskan, setiap anak dan perempuan berhak memiliki kuasa atas tubuh mereka.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: