Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM mendorong pengembangan biogas menjadi Biomethane-Compressed Natural Gas (Bio-CNG) dalam skala komersial sebagai bahan bakar transportasi dan difungsikan sebagai pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG) untuk industri. Pengembangan Bio-CNG ini diharapkan dapat mempercepat peningkatan kontribusi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional.
Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna menjelaskan, Bio-CNG merupakan pemurnian biogas (pure methene) dengan memisahkan komponen karbon dioksida (CO2) dan karbontetraoksida (CO4) serta menghilangkan komponen gas imperitis lainnya untuk menghasilkan gas metan dengan kadar di atas 95 persen. “Karakteristik dari biometan ini menyerupai dengan CNG. Pengembangan biometan dapat dipakai untuk sektor non listrik”, kata Feby seperti dilansir dari laman ESDM RI.
Baca Juga: Asosiasi Sawit dan Lembaga Penelitian Angkat Bicara Soal PE Sawit
Dikatakan Feby, sumber bahan baku bio-CNG sangat beragam. Namun, sebagai negara penghasil minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan sumber daya alam, Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan limbah CPO, limbah pertanian, dan peternakan menjadi biogas serta biomethane. “Manfaatnya (Bio-CNG) cukup signifikan karena saat ini Indonesia masih mengimpor LPG dalam jumlah besar serta sumber bahan baku untuk memproduksi Bio CNG cukup beragam,” ungkap Feby.
Dalam mendorong pengembangan bio-CNG, Kementerian ESDM bersama Global Green Growth Institute (GGGI) telah melakukan studi pasar pengembangan di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Studi itu akan segera dilanjutkan dengan pendampingan teknis untuk persiapan implementasi pembangunan bio-CNG. “Walau kita punya potensi bio-CNG cukup besar, tapi belum bisa berkembang komersial. Banyak tantangan yang menjadi tugas kita bersama, baik dari sisi kebijakan keekonomian, teknik, dan tata niaga,” kata Feby.
Koordinator Keteknikan dan Lingkungan Bioenergi, Efendi Manurung memaparkan, pengembangan Bio-CNG lebih difokuskan pada transfer teknologi serta mendorong keterlibatan peneliti dan penggiat teknologi untuk berinovasi dalam pengembangan biogas. “Untuk infrastruktur Bio-CNG saat ini relatif belum ada, belum terimplementasikan, tetapi kita masih tahap koordinasi mendorong, memfasilitasi, dan menyusun regulasi yang berkaitan dengan percepatan implementasi pemanfaatan Bio CNG”, ujar Efendi.
Ke depan apabila dibutuhkan infrastruktur untuk implementasi Bio CNG tersebut terdapat peluang untuk dilakukan. Pembangunan jaringan gas (jargas), program infrastruktur yang dilakukan oleh Ditjen Migas, tidak mustahil dibangun untuk Bio CNG, apabila sudah mendesak atau perlu dilakukan fasilitasi implementasi Bio CNG untuk kebutuhan rumah tangga. “Potensi biogas sangat besar dengan pemanfaatan limbah pertanian dan kotoran hewan. Kita dapat menekan impor LPG dengan menggunakan biogas. Selain itu, ada nilai tambah dari aspek lingkungan,” ungkap Efendi.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan CNG Indonesia (APCNGI), Dian Kuncoro mengungkapkan, distribusi dan infrastruktur pemanfaatan CNG membutuhkan biaya investasi yang lebih mahal dibandingkan LPG karena adanya perbedaan karakteristik dari keduanya. Misalnya, CNG memiliki tekanan yang jauh lebih tinggi dibandingkan LPG sehingga untuk mengangkutnya ke pelanggan (industri) membutuhkan material tabung yang lebih kuat. Hal ini berdampak pada ongkos dari sisi material menjadi lebih mahal yakni sekitar US$10 – US$13 per MMBTU.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Alfi Dinilhaq
Tag Terkait: