Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Indef Blak-blakan Bongkar Sebab Vaksin Gotong Royong Tidak Laku

Indef Blak-blakan Bongkar Sebab Vaksin Gotong Royong Tidak Laku Kredit Foto: Shutterstock
Warta Ekonomi, Jakarta -

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan kesimpangsiuran informasi antara pemerintah dengan pihak swasta atau pebisnis yang mengambil jalan tengah dengan membeli vaksin gotong rotong. Masalah kemudian muncul ketika Sinovac hadir di Indonesia hanya dibatasi untuk warga berusia lansia dan kalangan tertentu yang terlibat dalam penanganan Covid-19.

"Tidak semua perusahaan mendapatkan. Namun ketika mau selesai, ternyata diumumkan vaksinasi Sinovac bisa digunakan di semua umur, ini yang menyebabkan vaksinasi gotong royong jadi tidak laku," ujar Andry Satrio Nugroho, Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Indef, dalam diskusi virtual bertajuk BUMN Minta Modal Negara, Rakyat Dapat Apa? pada Minggu (11/7/2021).

Baca Juga: Pendapatan BUMN Menurun, Indef Dorong Profitabilitas dan Efisiensi

Karena itu, perusahaan yang semula ingin mendaftarkan vaksinasi gotong royong memilih mundur karena sudah tersedia vaksin gratis yang dapat ditemukan di puskesmas dan sentra vaksinasi lainnya. Akibatnya, vaksin Sinopharm menjadi tidak laku. Termasuk, Kimia Farma yang kewalahan karena posisinya sebagai distributor utama vaksin gotong royong Sinopharm sebanyak 15 juta dosis.

"Kita bisa lihat ketika tidak ada time line yang jelas dan kepastian ini yang menjadi problem vaksinasi," ujarnya.

Andry menambahkan, vaksin Sinopharm tidak bisa masuk dalam program vaksinasi pemerintah yang dilakukan secara gratis. Kalau pun dipaksakan masuk dalam klaster vaksinasi gratis, hal tersebut akan memunculkan kecurigaan di kalangan swasta yang sejak awal menganggap vaksinasi gotong royong berbayar.

Masalah susulan lainnya adalah rencana kedatangan vaksin gotong royong tambahan sebanyak 5 juta dosis vaksin CanSino. Selain itu, mengendapnya vaksin Sinopharm, disusul dengan kedatangan vaksin gotong royong, maupun dalam bentuk vaksin hibah menyebabkan potensi vaksin Sinopharm mengalami kedaluwarsa.

"Tantangan yang kemudian datang adalah bagaimana caranya mendistribusikan vaksin yang tidak masuk program vaksinasi pemerintah. Meski ada mekanisme permenkes melalui vaksinasi gotong royong, tapi tidak dilihat apakah nantinya akan terjadi overlap dengan program vaksinasi gratis dari pemerintah," ujarnya.

Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef, Abra P. G. Talattov, mengatakan bahwa masalah vaksin gotong royong lambat dalam pendistribusian disebabkan arus distribusi vaksin hanya dimonopoli Kimia Farma yang menjadi bagian BUMN.

Padahal, Kimia Farma mengalami keterbatasan soal distribusi vaksin gotong rotong. Keterbatasan tersebut yang tidak jeli dibaca oleh Kimia Farma untuk mengajak sektor swasta untuk terlibat dalam pendistribusian vaksin gotong royong, di mana keduanya memiliki konsen yang sama dalam hal komersial.

"Kalau pun ada persaingan di BUMN, kita ingin persaingan soal harga dan layanan supaya tidak semena-mena. Jadi pekerjaan rumah BUMN jangan karena dilindungi UU, tapi melakukan praktik monopoli akhirnya bisa mengurangi layanan kualitas terhadap masyarakat," katanya.

Abra juga menyayangkan, sejak awal kemunculan vaksin gotong royong, menurutnya tidak selaras dengan perkataan Presiden Joko Widodo yang mengatakan pemberian vaksin dilakukan secara gratis untuk rakyat Indonesia.

Semula, kata Abra, kehadiran vaksinasi gotong royong dapat memunculkan sejumlah persepsi di kalangan masyarakat seperti anggapan vaksin berbayar lebih bagus dan aman. Anggapan tersebut dapat memunculkan kekisruhan di kalangan masyarakat yang berakibat dengan makin melunturnya antusias masyarakat mengikuti program vaksinasi gratis dari pemeritah.

Hal ini kemudian memunculkan kesimpangsiuran informasi ihwal vaksin yang dijual apakah terdapat bagian vaksin yang berasal dari hibah. Padahal, kata Abra, berdasarkan Permenkes 19 tahun 2021 Pasal 7a disebutkan, program vaksinasi bersumber dari vaksin hibah tidak boleh diperjualbelikan.

"Di sisi lain, vaksin gotong royong yang berbayar Sinopharm ternyata sebanyak 500 ribu dosis itu berasal dari hibah," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Bethriq Kindy Arrazy
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: