Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bagaimana Kita Tahu Benar-benar Sembuh dari Corona dan Tak Akan Menulari Orang Lain? Simak Pakar...

Bagaimana Kita Tahu Benar-benar Sembuh dari Corona dan Tak Akan Menulari Orang Lain? Simak Pakar... Kredit Foto: Pixabay/Cromaconceptovisual
Warta Ekonomi, Jakarta -

Indonesia mencatat lebih dua juta orang telah sembuh dari COVID. Sementara, total mereka yang dilaporkan tertular virus corona di Indonesia sudah mencapai lebih dari 2,7 juta orang, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, Kamis kemarin.

Pertanyaannya, bagaimana cara kita tahu jika benar-benar sudah sembuh dan tidak akan menularkan orang lain?

Baca Juga: Pesan Kapolri Bagi Pasien COVID-19 yang Isoman Jika Kehabisan Obat, Didengar Ya!

Dokter RA Adaninggar, SpPD, spesialis penyakit dalam di Surabaya, sering mendapat pertanyaan seperti ini di akun Instagramnya, @drningz. Dokter Ning, panggilan akrabnya, mencoba menjawabnya, yang bisa langsung di-klik sesuai pertanyaan Anda: Bagaimana caranya tahu sudah sembuh dari COVID-19?

Apakah yang bergejala ringan perlu tes PCR lagi sampai negatif? Saya sudah sembuh dari COVID-19, kok masih lemas? Apakah kondisi saya bisa kembali normal? Mungkinkah tertular COVID-19 lagi setelah sembuh?

Perlukah cek antibodi setelah vaksin? Bagaimana tahu kalau sudah sembuh dari COVID-19? Dokter Ning mengatakan definisi "sembuh" berarti sudah melewati masa penularan dan gejala klinis sudah hilang. Kedua syarat ini harus dipenuhi bersamaan, tidak boleh hanya salah satu. Tapi tentunya ada perbedaan dalam menentuan kesembuhan di antara mereka yang bergejala ringan dan sedang atau yang berat.

Menurut WHO dan Kemenkes, masa penularan virus corona adalah 10 hari.

Untuk pasien gejala ringan, isolasi mandiri dilakukan selama 10 hari, ditambah waktu isolasi tambahan sampai gejala hilang. Tapi, tidak sampai di situ.

"Nanti setelah gejalanya hilang, harus ditambah lagi minimal tiga hari dia bebas gejala, terutama demam dan batuk, baru dibilang sembuh," katanya.

Pasien juga akan menerima surat keterangan dari dokter atau puskesmas yang sejak awal memonitor, yang menyatakan mereka sudah menjalani isolasi dan sudah sembuh.

"Jadi tidak pakai swab PCR," kata dr Ning. Bagaimana kalau gejala sudah membaik tapi isolasinya belum sampai 10 hari? "Itu belum tentu sembuh, dia masih menular," kata dr Ning. "Ada orang tidak paham kadang-kadang, mereka tes PCR satu kali negatif saja sebelum 10 hari, meski pun ada batuk-batuk, untuk keluar. Itu juga salah."

Sementara bagi mereka yang bergejala sedang atau berat biasanya membutuhkan perawatan di rumah sakit. Dokter yang akan menentukan sudah atau belum sembuhnya pasien dengan melihat gejala klinisnya.

"Apakah ada perbaikan kondisi secara umum, misalnya napsu makannya seperti apa, ditambah pemeriksaan penunjang," kata dr Ning. Pemeriksaan tersebut antara lain foto ronsen, pemeriksaan lab, dan terkadang pemeriksaan PCR evaluasi.

"Karena secara teori, pada orang bergejala sedang dan berat, masa menularnya lebih panjang, dan berapa lamanya tidak bisa dipastikan, tergantung kondisi orang," katanya.

Apakah pasien COVID-19 bergejala ringan perlu tes PCR lagi? Jawabannya saat ini tidak, karena berdasarkan temuan WHO, dalam sampel tes PCR positif pada seseorang yang sudah sembilan hari bergejala, hampir tidak ada virus yang bisa dikultur.

Proses kultur virus merupakan teknik laboratorium yang mengetes kemampuan menular virus. "Ternyata [walau hasil tes] positif, tidak ada virus yang hidup. Dia positif ya positif saja, tapi setelah dikultur ya tidak hidup [virusnya]," kata dr Ning.

"Jadi hasil positif menunjukkan materi genetik yang ada, tapi enggak bisa membedakan materi genetiknya, apakah berasal dari virus yang masih utuh dan aktif, atau virusnya sudah rusak." Sejak Mei 2020, persyaratan dua tes PCR sudah tidak lagi dibutuhkan untuk yang bergejala ringan, karena terbatasnya peralatan laboratorium dan petugas di daerah penularan tinggi.

Dokter Ning mengatakan persyaratan tes PCR dapat diberlakukan bila negara memang punya kapasitas untuk melakukannya. "Negara maju yang tes PCR nya masih banyak, boleh melakukan evaluasi PCR untuk menentukan seseorang boleh keluar [dari isolasi] atau belum," katanya.

"Di Indonesia kita mengadopsi [aturan] Kemenkes, tidak perlu pakai PCR tapi harus ada penilaian dokter, makanya harus ada surat." Kok masih lemas setelah sembuh? Menurut dr Ning, ini tidak hanya terjadi ketika terkena COVID-19.

"Pemulihan [dari] penyakit apa saja pasti kan butuh waktu," katanya. Misalnya, setelah sakit tifus atau demam berdarah, badan seseorang baru bisa kembali fit setelah dua atau tiga minggu kemudian.

Beberapa penyakit bahkan butuh satu sampai dua bulan. Ini karena "tentara" tubuh kita habis berperang dengan penyakit itu sendiri, menurut dr Ning.

"Jadi dalam kondisi virusnya sudah tidak ada, rasa lelah dari 'tentara' itu kan masih ada, jadi butuh pemulihan juga," katanya. Dalam konteks COVID-19, kondisi ini dikenal sebagai 'long COVID'. Dalam infeksi lain, bahasa awamnya adalah masa pemulihan.

Beberapa gejalanya adalah kelelahan, napas pendek, 'brain fog' atau kesulitan konsentrasi, dan rasa cemas berlebih. Apakah kondisi saya bisa kembali normal setelah positif COVID-19? "Hipotesanya, akan bisa membaik," kata dr Ning.

"Cuma membaiknya berapa lama, apa yang harus dilakukan, itu tidak ada jawabannya sekarang." Kebanyakan penyintas mengalami 'long COVID' hingga 12 minggu, namun beberapa bisa sampai sembilan bulan.

"Long COVID ini memang masih misteri," kata dr Ning. "Semuanya masih tanda tanya dan belum detil." Namun, sebuah penelitian di Inggris yang belum diterbitkan dalam jurnal, menemukan bahwa vaksin dapat mengurangi gejala long COVID pada penyintas.

"Makanya kalau di luar negeri justru orang-orang long COVID mengejar vaksinasi, karena banyak yang mengalami perbaikan setelah divaksin," ujarnya. "Tapi ini sifatnya masih laporan kasus, belum di-research betul-betul." Mungkinkah tertular COVID-19 lagi setelah sembuh? Jawaban dr Ning singkat, padat, dan jelas. "Sangat mungkin," jawabnya. "Selama virus di sekitar masih banyak, ya bisa tertular lagi."

Banyak orang mengecek antibodi setelah vaksin, perlukah? Dokter Ning tidak melarang orang yang baru divaksinasi untuk mengecek kadar antibodi mereka. Namun, menurutnya, kegiatan ini "tidak mengubah apa-apa".

Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) mengatakan hasil tes antibodi SARS-CoV-2 tidak seharusnya dijadikan patokan untuk mengevaluasi tingkat kekebalan imun seseorang terhadap COVID-19, terutama setelah menerima vaksin. Ini karena penelitian lebih lanjut masih harus dilakukan.

Menurut dr Ning, ketika divaksinasi, kekebalan yang diharapkan muncul tidak hanya antibodi, melainkan juga kekebalan sel. Walau tidak kalah pentingnya, kekebalan sel tidak dapat diukur, berbeda dengan antibodi. Namun, belum ada kepastian mengenai berapa batas antibodi yang dapat dibilang protektif untuk COVID, kata dr Ning. "Apakah kalau semakin tinggi terlindungi? Belum tentu juga," katanya.

"Sepuluh itu juga sudah protektif. Cuma sepuluh itu sudah protektif untuk Hepatitis B, dan proteksinya bisa 10 sampai 15 tahun."

Jadi, tes antibodi tidak seharusnya membuat seseorang menyimpulkan apakah mereka sudah cukup terlindungi. "Siapa tahu nanti kalau sudah diteliti ternyata [untuk COVID] kita cuma butuh titer yang 10 saja. Yang 200, 300, 10 ya sama-sama terlindungi."

Jangan lupa juga baca penjelasan soal kenapa sudah divaksinasi masih bisa tertular, benarkah obat yang banyak disebutkan di grup WhatsApp bisa menyembuhkan COVID, danbahayanya menyebarkan informasi COVID bagi keselamatan keluarga.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: