Pasalnya, tudingan ICW itu bahkan sama sekali tidak menunjukkan empati terhadap korban yang berjatuhan akibat lonjakan penularan Covid-19.
“Di sisi lain, justru jatuhnya banyak korban itulah yang menjadi alasan KSP Moeldoko mensosialisasikan, bahkan mengirim langsung tablet-tablet Ivermectin secara gratis ke berbagai pusat lonjakan. Itu jauh lebih baik dibanding diam berpangku tangan melihat saudara-saudara se-Tanah Air berjatuhan menjadi korban Covid,” kata Mujiono.
Karena itu, menurut Mujiono, wajar bila masyarakat mencurigai ada ada agenda terselubung ICW untuk memfitnah KSP Moeldoko.
“Ada kesan kuat, alih-alih KSP Moeldoko yang mencari rente ekonomi, justru ICW yang mungkin menjadi bagian dari konspirasi global untuk menolak Ivermectin yang murah-meriah tapi ampuh atasi Covid,” kata dia.
Bagi Mujiono, itu artinya sama seperti pepatah ‘maling teriak maling’. “Artinya, tuduhan bahwa para pejabat mensosialisasikan Ivermectin untuk menjadi obat murah dan massal dalam perang melawan pandemi itu didasari niat mengambil rente adalah tuduhan keji, dan bila dihubungkan dengan banyaknya korban, jelas sangat tidak berperikemanusiaan.”
Namun menurut Mujiono, pihaknya tidak heran dengan sikap beberapa lembaga swadaya masyarakat yang seperti itu. Dalam sejarah Indonesia ada bukti kuat bahwa agenda LSM tidak bisa dilepaskan dari sikap politik, dan bahkan lebih jauh ideologi pihak donor yang umumnya berasal dari luar negeri.
“Saya membaca sejarah, pada pertengahan era 1990-an, manakala ada pengusiran dan kekerasan massal kepada para pendatang, khususnya Muslim dari Timor Leste (Timor Timur saat itu), tak ada satu pun LSM, terutama yang mendapatkan donasi negara-negara Barat berani bersuara. Padahal, hal sekecil apa pun yang terjadi di Timor Timur saat itu, pasti mereka berteriak,” kata Mujiono. Dia mengingatkan, saat itu di Indonesia marak keyakinan bahwa pada hal-hal yang merugikan pihak pendonornya, LSM selalu kena ‘sariawan’.
Di sisi lain, Mujiono percaya, keberadaan LSM sebenarnya bisa menguatkan civil society (masyarakat madani), bila mereka melakukannya dengan jujur dan berdasarkan kejernihan nurani. “Sayangnya, banyak di antaranya yang rela menjadikan diri jadi apa yang dikatakan peribahasa lama, ‘tong kosong yang nyaring bunyinya’. Artinya, mereka bersedia berteriak hanya kalau sesuai kepentingan diri, kelompok atau pendonornya saja. Itu yang kami sayangkan,” kata dia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil