Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menguji Keampuhan Restrukturisasi Redam NPL Perbankan

Menguji Keampuhan Restrukturisasi Redam NPL Perbankan Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Hampir seluruh sektor ekonomi terimbas pagebluk Covid-19 yang hingga kini tak kunjung usai. Salah satunya bisnis perbankan, yang kini dihantui kenaikan rasio kredit macet atau non-performing loan (NPL).

Pemicunya, pembatasan mobilitas atau yang kini disebut pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Hal tersebut membuat sebagian debitur kesulitan mengangsur utang mereka lantaran kegiatan bisnis dibatasi sehingga pendapatan mereka terjun bebas.

Baca Juga: Kredit Mikro Tumbuh 17 Persen, BRI Raih Laba Rp12,54 triliun

Mengutip catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per Juni 2021, NPL perbankan bisa dibilang masih tinggi yakni berada di level 3,24% untuk NPL gross dan 1,06% untuk NPL netto. Padahal, akhir tahun lalu NPL ada di posisi 3,05% dengan nilai kredit bermasalah sebesar RP167,70 triliun.

Guna menekan NPL perbankan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak tinggal diam. Siasatnya, dikeluarkan program restukturisasi kredit bagi para debitur yang terdampak Covid-19. Kebijakan ini wajib dijalankan semua perbankan Tanah Air.

Namun, seberapa ampuh program restrukturisasi ini meredam amukan NPL yang mengintai industri perbankan?

PT Bank Central Asia Tbk (BCA) mencatat NPL bertengger di level 2,4% hingga semester I-2021. Menelisik laporan keuangan I-2021, NPL di kuartal II meningkat dibandingkan dengan kuartal sebelumnya sebesar 1,8%.

Peningkatan NPL ini sudah diprediksi sebelumnya oleh emiten bersandi BBCA ini seiring dengan kondisi perlambatan ekonomi saat ini. Direktur Keuangan BCA Vera Eve Lim memproyeksikan NPL BCA akan berada di kisaran 2,4% hingga 2,7% sepanjang 2021.

"NPL kemungkinan akan sedikit mengalami kenaikan. Kami memproyeksikan NPL di kisaran 2,4-2,7% di tahun ini. Pertumbuhan kredit tidak melakukan revisi RBB di kisaran 4-6% di tahun ini," ujar dia di konferensi pers virtual, Kamis (22/7/2021).

Meski begitu, dia sampaikan bahwa kondisi tersebut masih akan ditentukan oleh penanganan pandemi Covid-19. Jika situasi membaik, PPKM lebih longgar maka perekonomian akan kembali pulih. Sehingga, permintaan kredit akan meningkat.

"Kita lihat kondisinya, kalau membaik demand akan cepat tumbuh," tandasnya.

BCA sendiri telah menyiapkan biaya cadangan di kuartal II-2021 32,4%, lebih besar dari kuartal II-2020. Sementara restrukturisasi kredit yang dibukukan BCA mencapai RPp99,1 triliun hingga Maret 2021.

Sementara PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) mencatat penurunan NPL dari 4,71% per Juni 2020 menjadi 4,1% pada periode Juni 2021. Bank menargetkan NPL bisa turun ke level 3,8%-3,9% sampai akhir tahun ini. BTN sendiri telah merestrukturisasi senilai Rp57 triliun hingga Juni 2021.

Direktur Utama BTN Haru Koesmahargyo pun membeberkan strateginya untuk mencapai target tersebut. Ada tiga strategi; pemilihan nasabah (depan), restrukturisasi (tengah), dan penyelesaian (belakang), misalnya dengan menjual agunan (properti) lewat agen, lelang, atau investor.

BTN secara selektif memilih nasabah yang berkualitas supaya tidak mengalami masalah, juga memilih sektor-sektor yang masih tumbuh dan memiliki multiplier effect (mendorong sektor yang lain) seperti sektor perumahan.

"Layanan pun dipercepat dengan sentralisasi. Kami juga mengupayakan bunganya murah. Agar lebih murah, dana (DPK) kami jaga," jelas dia saat dihubungi Warta Ekonomi, Kamis (5/8/2021).

Ia mengimbuhkan, BTN telah memiliki NPL coverage ratio di level 120,72%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan paruh pertama 2020 sebesar 107,9%. Dan ada kemungkinan pencadangan akan ditambah sesuai dengan perkembangan kolektabilitas kredit bank.

"NPL coverage ratio kami naikkan menjadi 120,72%. Sebenarnya untuk menjaga kalau-kalau yang belum NPL atau masih LAR, turun menjadi NPL," beber Haru.

Begitu juga dengan NPL PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) secara bank only tercatat mengalami penurunan menjadi 4,1% per Maret 2021 dari sebelumnya di Desember 2020 sebesar 4,3%. Penurunan ini diakui Direktur Utama BNI Royke Tumilaar karena program restrukturisasi yang dijalankan perseroan.

"(NPL) masih terjaga. Kuncinya di restrukturiasasi supaya tidak ditunda pembayarannya (kredit). Dan yang paling penting komunikasi. Kami lakukan komunikasi baik dengan nasabah sehingga tahu kondisinya seperti apa," kata Royke kepada Warta Ekonomi, Kamis (5/8/2021).

BNI sendiri telah menyiapkan pencadangan 200%, naik dari 182,4% di akhir tahun lalu guna mengantisipasi adanya risiko kredit. Adapun akumulasi restrukturisasi kredit terdampak pandemi sejak Mei 2020-Mei 2021 mencapai Rp123 triliun.

Masih Terjaga

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto memandang, risiko kredit macet akan terus meningkat selama penanganan pandemi Covid-19 belum tuntas. Pasalnya, tanpa pengendalian pandemi, perekonomian Indonesia akan sulit untuk pulih kembali.

"Selama pandemi belum terkendali, semakin NPL berpotensi naik karena risiko ekonominya meningkat," urai dia kepada Warta Ekonomi, Kamis (5/8/2021).

Meski NPL naik tipis, menurut Eko, program restrukturisasi yang dijalankan OJK terbukti efektif, setidaknya mencegah ekonomi sangat memburuk dari adanya pandemi Covid-19.

Ia pun menilai bahwa NPL perbankan saat ini masih terbilang terjaga. Pasalnya, angkanya masih di bawah 5%. Ia pun berharap program relaksasi ini bisa diperpanjang.

"Masih oke. Overall (NPL) masih bisa ditahan dengan program restukturisasi tersebut," tandasnya.

OJK per Jumat lalu (6/8/2021) mengumumkan bakal memperpanjang program restrukturisasi kredit guna mendorong perekonomian. Secara resmi, program restrukturisasi saat ini hingga 31 Maret 2022, dari sebelumnya hingga 31 Maret 2021. Peresmian ini seiring dengan penerbitan POJK Nomor 48/POJK.03/2020.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menyatakan, perpanjangan program ini penting untuk mendorong perbankan terus percaya diri menyalurkan kredit ke para nasabahnya.

"Kami dalam bidang perkreditan, POJK Nomor 48 sudah kami sampaikan diperpanjang," ujar Wimboh saat konferensi pers virtual, Jumat (6/8/2021).

Meski begitu, ia bilang, regulasi yang akan digunakan untuk perpanjangan program tersebut masih digodok. OJK pun tengah melakukan koordinasi dengan baik Kementerian Keuangan maupun dengan industri.

"Terutama bagaimana jangka waktunya, kapan mulai, bagaimana industri punya kekuatan, ini sedang dalam perhitungan kami. Pada prinsipnya, kami perpanjang. Kalau bisa lebih cepat, lebih baik," tandasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rosmayanti
Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: