Sekelompok orang di dua kota di Inggris, yakni Kota Dorchester dan Bournemouth, telah meluncurkan sebuah inisiatif terkait sawit berkelanjutan yang dinamakan Efeca.
Perlu diketahui, Efeca merupakan akronim dari Economics, Climate, and Environment. Efeca mengklaim bahwa mereka tidak antisawit, namun ingin memastikan bahwa minyak sawit yang dijual di Inggris bersumber dari perkebunan sawit yang berkelanjutan.
Baca Juga: Sawit Berkelanjutan: Pilar Utama Pembangunan Ekonomi bagi Kesejahteraan Rakyat
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung menilai, kehadiran kelompok tersebut membuktikan terpecahnya masyarakat Eropa menyikapi produk sawit, termasuk yang berasal dari Indonesia. Lebih lanjut dikatakan Tungkot, konsumen di Eropa bisa diklasifikasikan menjadi dua kelompok.
“Yang pertama adalah konsumen anti sawit. Mau sawitnya sustainable atau tidak, kelompok ini tidak mau tahu. Mereka tetap anti sawit," kata Tungkot seperti dikutip dari Elaeis.co. Kelompok ini, kata Tungkot, sangat ingin setiap makanan yang mereka konsumsi berlabel bebas minyak sawit (palm oil free/POF). "Dan prinsip mereka ini enggak bisa ditawar. Kelompok ini juga sangat mudah dipengaruhi oleh NGO atau pihak-pihak antisawit," jelasnya.
Sementara kelompok yang kedua yakni konsumen yang bersedia mengonsumsi bahan pangan atau kosmetik yang mengandung sawit yang berkelanjutan (sustainable). Artinya, banyak syarat yang harus dipenuhi, termasuk tersertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
"Hanya sekitar 45 – 50 persen dari sekitar 10 – 14 juta ton CPO bersertifikasi RSPO yang terserap per tahun di Eropa," ungkap Tungkot. Melihat gelagat kedua kelompok konsumen itu, Tungkot menduga bahwa Eropa sebenarnya mencoba mengakali agar harga minyak sawit menjadi lebih murah. "Dugaan saya, mereka di Eropa ingin harga minyak sawit yang semurah-murahnya," katanya.
Lalu, apa gunanya harga sawit murah, sementara daya serap konsumen rendah? Tungkot mengaku mendapatkan informasi bahwa minyak sawit yang dibeli Eropa diekspor lagi ke negara lain melalui Belanda yang selama ini menjadi pusat penentu harga CPO global.
"Saya melihat mereka sebenarnya enggak butuh semua sertifikasi itu. Target mereka, yang penting harganya murah," kata Tungkot.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Alfi Dinilhaq
Tag Terkait: