Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuka suara terkait Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentan Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) yang mewajibkan perbankan memenuhi target pembiayaan 30 persen kepada UMKM.
Menurut Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, pemenuhan rasio pembiayaan 30% untuk UMKM sebenarnya menjadi target nasional dan bukan menjadi target lembaga tertentu.
Hal tersebut katanya, tetap memperhatikan kesiapan dan business plan bank masing-masing. Saat ini menurut Wimboh, memang masih banyak bank-bank yang rasio pembiayaan UMKM nya di bawah 30 persen. Sementara bank yang mencapai di atas 30 persen atau sekitar 34 persen masih sangat minim. Baca Juga: Restrukturisasi Kredit Diperpanjang, OJK Minta Perbankan Tetap Hati-hati
“Tentu hal ini masih kita lihat. Kalau ada bank yang sudah memenuhi target nasional 30 persen kita dorong. Tapi kalau yang selama ini masih di bawah 30 persen maka sama-sama dikawal agar bisa mencapai treshold. Ibarat lari, ini sama-sama mulai startnya,” kata Wimboh dalam konferensi pers terkait Kondisi Terkini Industri Jasa Keuangan dan Kebijakan Perpanjangan Masa Relaksasi Restrukturisasi Kredit secara virtual, Rabu (8/9/2021).
Target tersebut lanjut Wimboh, juga dilatarbelakangi karena ketika bank membiayai proyek strategis seperti infrastruktur, mining dan lainnya sangat besar, namun pembiayaan ke UMKM masih kecil. “Sebenarnya ini yang menjadi perhatian pemerintah, supaya UMKM jangan dilupakan,” ujarnya.
Namun secara individu bank diatur dan disesuaikan dengan bisnis modelnya masing-masing bank. "Kalau ada bank yang sudah besar porsi UMKM nya ya kita dorong terus untuk tetap tinggi. Dan jika ada bank yang khusus di sektor korporasi, didorong juga tetap fokus seiring dengan penyaluran ke UMKM," tutur Wimboh. Baca Juga: BI Atur Rasio Kredit Perbankan Buat UMKM, Pengamat Bilang...
Yang terpenting sambungnya, jangan sampai karena memenuhi target 30 persen UMKM, justru perbankan asal-asalan yang penting target terpenuhi, namun melupakan kredit di sektor lain, korporasi misalnya jadi tidak tumbuh.
“Jangan sampai justru target 30 persen ini tapi tak memberikan efek lahirnya entrepreneur-entrepreneur yang berkualitas. Jangan hanya karena memenuhi angka nasional tapi kredit tak memberikan impact,” tegas Wimboh.
Dalam kesempatan berbeda, Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani mengungkapkan, aturan BI soal RPIM UMKM untuk perbankan minimal 20 persen di Juni 2022 bahkan 30 persen di Juni 2024 bisa membahayakan industri perbankan.
Hal ini lantaran, UMKM yang mengalami kenaikan kelas juga masih sedikit. Selain itu, kredit dalam jumlah besar biasanya hanya diperlukan jika kondisi perekonomian sudah stabil dan baik.
“Bahayanya terutama bagi bank BUKU 3 dan BUKU 4. Mereka harus biaya infrasstruktur yang jumlahnya signifkan, 30 persen ada yang serap enggak? Karena kalau kita lihat kenaikan kelas UMKM sangat lamban, takutnya dipaksakan dan enggak terserap. Apalagi ada denda juga,” ujar Aviliani dalam webinar Bisnis Indonesia, Selasa (7/9/2021).
Aviliani melanjutkan, seharusnya aturan tersebut bisa ditinjau kembali. Seberapa besar pembiayaan atau kredit yang dibutuhkan UMKM. “Jadi menurut saya perlu dilihat lagi apakah benar UMKM setiap tahun butuh pinjaman sebesar itu? Menurut saya itu agak diragukan,” jelasnya. Baca Juga: OJK Ubah Aturan Main Penyelenggara Securities Crowdfunding
Sebelumnya BI mewajibkan perbankan untuk memenuhi RPIM UMKM sebesar 20 persen pada Juni 2022. Perhitungannya dilakukan secara bertahap yang kemudian menjadi 25 persen pada Juni 2023 dan 30 persen di Juni 2024.
Perluasan target pembiayaan inklusif tersebut dilakukan karena UMKM sangat berperan dalam perekonomian, dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi serta pangsa yang besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga UMKM menjadi kunci pemulihan ekonomi nasional.
Nantinya, akan terdapat sanksi bagi bank yang tidak bisa memenuhi target RPIM tersebut, yang akan diawali dengan teguran tertulis terlebih dahulu pada Juni 2022 dan Desember 2022.
Jika nantinya teguran tersebut tidak bisa dipenuhi, Juda menyebutkan akan ada sanksi teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,1 persen dikali nilai kekurangan RPIM (maksimal Rp 5 miliar untuk setiap posisi pemenuhan RPIM), yang akan diberlakukan sejak Juni 2023.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman