Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

APBN Dihantam Covid, Pakar Ingatkan Beban Besar di Balik Proyek EBT

APBN Dihantam Covid, Pakar Ingatkan Beban Besar di Balik Proyek EBT Kredit Foto: PLN

Beban APBN

Arifin Rudiyanto, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, menyebutkan bahwa APBN seyogyanya hanya digunakan sebagai pemantik. Dia mencontohkan penggunaan APBN antara lain pada rancangan kebijakan berupa kerangka pendanaan, kerangka regulasi dan kerangka teknis terkait dengan penyiapan tenaga kerja, kebutuhan rantai pasok industri manufaktur pendukung energi terbarukan dalam negeri, serta penetapan tarif yang pro pengembangan energi terbarukan.

"Swasta dapat berperan melalui berbagai skema pembiayaan inovatif yang telah disiapkan oleh pihaknya. Di antaranya skema financing, kerjasama government – badan usaha, dan crowdfunding atau urun dana," ucapnya. 

Adapun menurut Arifin, RUU EBT yang menjadi inisiasi lembaga legislatif saat ini masih dibahas di DPR. Dia menyebutkan bahwa proses pembahasan formal antara DPR dan pemerintah belum dimulai.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif reforminer Institute, menyebutkan bahwa transisi energi memiliki tujuan yang positif, sudah menjadi komitmen pemerintah, sudah ditetapkan di dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), juga sudah diratifikasi pada Paris Agreement. 

Hal ini menunjukan bahwa pengembangan sektor energi terbarukan memang sudah menjadi bagian dari komitmen bersama.

Namun demikian, dia mengingatkan adanya risiko fiskal dalam draft RUU EBT yang sedang dipersiapkan oleh DPR serta pada draft revisi Permen ESDM No. 49/2018 demi mendorong percepatan transisi energi ke energi baru dan terbarukan. 

Oleh karena itu, ujarnya, perlu koordinasi antara kementerian teknis serta Kementerian Keuangan yang mengatur soal anggaran negara.

“Tetapi yang perlu kita sadari bahwa antara pertumbuhan ekonomi dengan aspek lingkungan harus balance. Biasaya negara-negara di dunia akan fokus pada pertumbuhan, setelah titik tertentu baru fokus pada lingkungan," katanya.

Oleh karena itu, lanjutnya, umumnya terdapat rasio antara GDP per kapita dengan kerusakan lingkungan. Saat ini, ujarnya posisi GDP per kapita Indonesia masih sangat rendah apabila dibandingkan dengan negara-negara maju, yakni hanya 3.121 per 2020.

Sementara itu, sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat sudah mencapai level GDP per kapita sebesar 63.000, Singapura sebesar 58.000, dan rata-rata negara di Eropa sudah memiliki GDP per kapita lebih dari 30.000.

“Jadi perbandingannya sangat jauh. Apakah kita yang GDP-nya masih di 3.000-an itu harus berkomitmen seperti negara-negara yang GDP per kapitanya sudah di kisaran 60.000? Harus kita tanyakan kembali kepada kita,” ujar Komaidi.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: