Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Dari Pendeta Jadi Mualaf, Begini Cerita Yahya Waloni Masuk Islam

Dari Pendeta Jadi Mualaf, Begini Cerita Yahya Waloni Masuk Islam Kredit Foto: Instagram/Yahya Waloni

Ketertarikan Yahya untuk masuk Islam, kata dia, sebenarnya sudah ada sejak kecil, saat berumur sekitar 14 tahun. Pada usia itu, dirinya sudah ke masjd karena tertarik melihat banyak orang islam menggunakan pakaian seperti yang digambarkan di agamanya yaitu baju ikhram.

Selain itu, dirinya pun sangat tertarik dengan gendang yang suka dimainkan di masjid-masjid. Saya hanya berani ke masjid satu kali saja karena ketahuan dan dipukul sampai babak belur oleh bapak saya.

Kalau nekad ke masjid lagi, saya takut bapak saya yang seorang tentara akan menggantung saya, ujar pria yang memiliki hobi bermain gendang ini.

Namun, sambung pria yang pernah menjabat Ketua Sekolah Tinggi Theologia Calvinis di Sorong tahun 2000-2004 ini, dari sekian kejadian yang mendorongnya untuk memeluk Islam adalah pengalaman spiritual yang dialaminya.

Suatu hari, saya bertemu dengan seorang penjual ikan, di rumah lama kompleks Tanah Abang, Kelurahan Panasakan, Tolitoli, ia memulai kisahnya.

Pertemuannya dengan si penjual ikan berlangsung tiga kali berturut-turut dengan waktu pertemuan yang sama yaitu pukul 09.45 Wita. Kepada saya, si penjual ikan itu mengaku namanya Sappo (dalam bahasa Bugis artinya sepupu).

Dia juga panggil saya Sappo. Dia baik sekali dengan saya, ujar bapak dari Silvana (8 tahun, kini bernama Nur Hidayah), Sarah (7 tahun, menjadi Siti Sarah), dan Zakaria (4 tahun) ini.

Setiap kali ketemu dengan si penjual ikan itu, kata Yahya, dirinya berdialog panjang soal Islam. Anehnya, kata dia, si penjual ikan yang mengaku tidak lulus sekolah dasar (SD) itu sangat mahir dalam menceritakan soal Islam. Ia makin tertarik pada Islam.

Namun, sejak saat itu, ia tidak pernah lagi bertemu dengan penjual ikan itu. Si penjual ikan mengaku dari dusun Doyan, Desa Sandana, salah satu desa di sebelah utara kota Tolitoli). Saat saya datangi kampungnya, tidak ada satupun warganya yang menjual ikan dengan bersepeda, tambahnya.

Sejak pertemuannya dengan si penjual ikan itulah katanya, konflik internal keluarga Yahya dengan istrinya meruncing. Istrinya, Lusiana tetap ngotot untuk tidak memeluk Islam. Karena dipengaruhi oleh pendeta dan saudara-saudaranya. Ia tetap bertahan pada agama yang dianut sebelumnya. Jadi, kita memutuskan untuk bercerai, katanya.

Namun, sambung dia, tidak lama setelah itu, tepatnya 17 Ramadan 1427 Hijriyah atau tanggal 10 Oktober sekitar pukul 23.00 Wita, ia bermimpi bertemu dengan seseorang yang berpakaian serba putih, duduk di atas kursi.

Sementara, dia di lantai dengan posisi duduk bersila dan berhadap-hadapan dengan seseorang yang berpakaian serba putih itu. Saya dialog dengan bapak itu. Namanya, katanya Lailatulkadar, kata Yahya.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: