Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

AASI Dorong 44 Unit Syariah Perusahaan Asuransi Untuk Spin Off

AASI Dorong 44 Unit Syariah Perusahaan Asuransi Untuk Spin Off Kredit Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Warta Ekonomi, Jakarta -

Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) menggelar acara Webinar Persiapan Spin Off bagi unit syariah perusahaan asuransi, dengan mengambil tema ”Menyongsong Spin Off Asuransi Syariah” yang diselenggarakan secara virtual pada tanggal 29 September 2021.

Acara ini merupakan bentuk support AASI kepada perusahaan anggota dalam rangka mempersiapkan diri untuk melaksanakan amanat Undang-undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 67/POJK.05/2016 Nomor 67 Tahun 2017 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah.

Baca Juga: Asuransi Sinar Mas Berikan Customer Loyalty bagi Pelanggan di Hari Pelanggan Nasional

Amanat ini juga telah ditekankan oleh Wakil Presiden RI yang juga Ketua Dewan Penasihat AASI dalam kesempatannya memberikan sambutan pada acara Milad Ke18 AASI beberapa waktu lalu, dengan harapan bahwa seluruh unit syariah perusahaan asuransi di Indonesia dapat menjadi perusahaan entitas sendiri di tahun 2024.

Hadir sebagai pembicara dalam webinar tersebut, Direktur IKNB Syariah OJK Kris Ibnu Roosmawati yang menjelaskan bahwa di sisa waktu menjelang tahun 2024 ada sebanyak 44 Unit Syariah yang akan menindaklanjuti terkait Rencana Kerja Pemisahan Unit Syariah (RKPUS) perusahaan asuransi yang telah disetujui OJK. Selanjutnya OJK akan terus memantau dan melakukan assessment.

Kris Ibnu Roosmawati mengatakan, bahwa perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi yang memiliki unit syariah wajib melakukan pemisahan unit syariah jika telah memenuhi ketentuan dari regulator, baik menurut Undang-undang maupun dari POJK, yaitu apabila dana tabarru’ dan dana investasi peserta telah mencapai 50 persen dari total nilai dana asuransi, dana tabarru’, dan dana investasi peserta pada perusahaan induknya atau sudah 10 tahun sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 40 tahun 2014.

Pelaksanaan aturan kewajiban spin off ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan mendirikan perusahaan baru yang diikuti dengan pengalihan seluruh portofolio kepesertaan unit syariah kepada perusahaan baru tersebut atau dengan mengalihkan seluruh portofolio kepesertaan unit syariah kepada perusahaan lain yang telah memperoleh izin usaha.

Kris Ibnu Roosmawati menambahkan bahwa sesuai dengan aturannya, setelah penyampaian RKPUS, perusahaan dapat melakukan perubahan terhadap RKPUS yang telah disetujui oleh OJK, paling banyak 2 kali yang disampaikan kepada OJK dan paling lambat 1 tahun sejak tanggal surat persetujuan OJK atas RKPUS pertama.

“Apabila semua sudah memenuhi ketentuan, mulai dari melengkapi dokumen dan penjelasan yang ada di RKPUS, jika masih ada perusahaan yang harus melakukan perbaikan maka kami akan menghubungi perusahaan tersebut untuk dilakukan perbaikan. Jadi untuk regulasi saat ini, terkait dengan spin off masih berpegang terhadap ketentuan-ketentuan yang ada,” ungkap Kris Ibnu Roosmawati dalam presentasinya.

Terkait dengan relaksasi karena pandemi, Kris Ibnu Roosmawati mengatakan bahwa sejauh ini OJK belum mendapatkan informasi atau sikap khusus untuk asuransi dari pemerintah, termasuk untuk kewajiban spin off. OJK sendiri sebenarnya sudah mengajukan tiga hal untuk relaksasi, termasuk didalamnya untuk asuransi.

Selain itu, lanjutnya, sejauh ini juga belum ada arahan untuk mengeluarkan POJK terkait kebijakan sinergi asuransi syariah dengan perusahaan induk konvensional. Namun, jika hal tersebut bisa menjadi wacana dan juga dilakukan oleh industri lainnya, barangkali bisa didiskusikan dan dikaji lebih lanjut.

”Berbagai macam jalan bisa kita lakukan (untuk kewajiban spin off asuransi syariah) selagi masih dalam koridor aturan dan ketentuan yang kita sepakati. OJK juga tidak akan menyusahkan perusahaan. Kami juga menerima input terkait kesulitan-kesulitan yang dialami oleh perusahaan. Kami juga memikirkan solusi untuk mengatasi kesulitan-kesulitan itu.

Perusahan dipersilakan mengirimkan surat ke OJK, nanti akan kami review. Saat ini OJK juga tengah dalam pembahasan merancang RPOJK lebih lanjut terkait spin off, dengan harapan bisa lebih jelas lagi, termasuk yang terkait dengan share service untuk perusahaan asuransi syariah yang baru,” ungkap Kris Ibnu Roosmawati.

Hadir menjadi pembicara kedua pada kesempatan tersebut, Direktur Eksekutif AASI Erwin Noekman yang juga pernah “membidani” lahirnya sebuah perusahaan Asuransi syariah, hasil spin off dari salah satu perusahaan asuransi BUMN.

Erwin menjelaskan bahwa pada tahun 2018 lalu, AASI telah menggelar workshop terkait proses spin off bagi para perusahaan asuransi yang memiliki unit syariah. Workshop tersebut, lanjut Erwin, menghasilkan format standar dan simulasi financial modelling dalam rangka memberikan gambaran kepada anggota AASI yang akan melakukan spin off. Imbasnya, ada yang langsung melakukan kajian di tahun 2018, ada yang di tahun 2019 dan ada pula di tahun 2020.

Di tahun 2021, lanjut Erwin, apapun pilihan bentuk pemisahan yang akan dilakukan, 44 unit syariah tersebut harus membentuk tim khusus pelaksana pemisahan unit syariah, karena pada Bulan Oktober 2023 merupakan batas waktu pengalihan portofolio unit syariah kepada perusahaan asuransi syariah yang lain, kalau memang melakukan pengalihan portofolio.

”Yang perlu diperhatikan adalah, apapun pilihan yang diambil untuk pelaksanaan kewajiban spin off, perusahaan itu harus melakukan pengalihan portofolio atas izin OJK dengan tidak mengurangi hak-hak pemegang polis. Di sini juga peran Komisaris Independen dibutuhkan  untuk menyuarakan kebutuhan pemegang polis. Kemudian yang juga mesti diperhatikan dalam pengalihan portofolio ini adalah harus sesuai dengan kaidah syariah,” ungkapnya.

Erwin juga menambahkan bahwa ada beberapa alasan unit syariah perusahaan asuransi mendirikan perusahaan baru, diantaranya: Pertama, adanya komitmen dan keyakinan untuk mengembangkan bisnis syariah. Kedua, fokus untuk mengembangkan bisnis tertentu. Ketiga, kesediaan sebagai penampung portofolio bisnis syariah dari perusahaan lain. Keempat, opportunities yang masih terbuka lebar untuk industri asuransi syariah. Dan yang kelima adalah alasan untuk mematuhi peraturan yang ada.

Sedangkan bagi perusahaan yang memindahkan portofolionya ke perusahaan syariah lain, menurut Erwin juga memiliki beberapa alasan, diantaranya karena kendala skala bisnis yang kurang ekonomis, karena faktor SDM, dan karena masalah permodalan.

”Salah satu tugas kami di AASI adalah selalu mengingatkan kepada anggota agar mempersiapkan diri untuk spin off. Kita masih ada waktu sekitar dua tahun lagi. Apapun pilihan yang diambil tidak akan mudah. Namun yang jelas, jangka waktu pengalihan portofolio asuransi syariah lebih pendek ketimbang mendirikan perusahaan baru. Namun apapun yang akan dipilih yang pastinya menjadi it’s going to be our legacy, apakah akan melahirkan bayi yang sehat, ataukah akan mengubur unit syariah di perusahaan masing-masing,” tutup Erwin.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Alfi Dinilhaq

Bagikan Artikel: