Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Wacana Kenaikan Cukai Rokok dan Ironi Prevalensi Perokok Usia Dini

Wacana Kenaikan Cukai Rokok dan Ironi Prevalensi Perokok Usia Dini Kredit Foto: Antara/Irfan Anshori
Warta Ekonomi, Jakarta -

Faisal Akbar (17) sudah coba-coba merokok sejak Sekolah Dasar (SD). Ia bercerita bahwa saat kelas 4 SD, teman-teman di lingkungan rumah maupun sekolahnya yang mengenalkan rokok kepada dirinya. Sejak saat itulah ia mulai merokok hingga sekarang. Per hari, ia bisa menghabiskan 16 batang rokok yang ia beli dari hasil kerja informal.

Namun, pelajar SMK di salah satu kecamatan di Kabupaten Cirebon ini mengaku akan berhenti merokok jika harga rokok yang ia konsumsi naik. Di samping itu, ia mengaku mulai konsen dengan dampak merokok bagi kesehatannya.

"Kemungkinan berhenti (merokok), sekarang saja sudah mulai mengurangi (rokok)," tuturnya kepada Warta Ekonomi (1/10/2021) sambil mengimbuhkan, "ya ingin hidup sehat, yang ditakutkan terkena penyakit. Kan lebih baik mencegah daripada mengobati."

Baca Juga: Kenaikan Cukai Rokok Dinilai Tak Membuat Penerimaan Negara Turun

Faisal bilang bahwa sebenarnya orangtuanya telah melarang merokok, tapi tak ia indahkan. Ismail (57), ayah dari Faisal, sampaikan bahwa ia sebenarnya sudah berkali-kali menegur anaknya itu agar tidak merokok. Ayah tiga anak ini mengaku sering mengedukasi anaknya tentang bahaya merokok, bahwa merokok merusak kesehatan.

"Faisal sudah doyan merokok ya, sudah susah dinasehatinya," tutur mantan perokok ini saat dihubungi Warta Ekonomi (9/10/2021).

Faisal hanyalah satu dari sekian banyak remaja Indonesia yang kecanduan merokok. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas), prevalensi perokok usia anak di bawah 18 tahun meningkat dari 7,2 (2013) menjadi 9,1 (2019). Berdasarkan laporan 2014 Global Youth Tobacco Survey, untuk kelompok usia 13–15 tahun juga diketahui bahwa 20,3% pelajar; 36,2% anak laki-laki; dan 4,3% anak perempuan menggunakan tembakau.

Guna menurunkan prevalensi perokok, terutama usia anak, yang ditargetkan mencapai 8,7 persen pada 2024, pemerintah berencana untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok pada tahun depan, tetapi belum menentukan berapa besaran kenaikannya.

Stafsus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal Sektoral Titik Anas mengatakan bahwa selama ini, pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan harga rokok agar tidak terjangkau oleh konsumen anak-anak.

Hal ini tampak dari affordability index (indeks keterjangkauan) rokok atau persentase pembelian 100 bungkus rokok terhadap produk domestik bruto (PDB) per kapita yang meningkat dalam dua tahun terakhir. Tahun lalu, indeks keterjangkauan rokok meningkat menjadi 4,3 persen dari 3,9 persen di tahun sebelumnya. Indeks keterjangkauan rokok kembali meningkat pada 2021 menjadi 4,6 persen.

"Kalau kita lihat harga rokok di Indonesia ini sebetulnya sudah relatif mahal dibandingkan dengan Filipina, Thailand, dan Vietnam. Tapi kalau kita bandingkan dengan Singapura dan Malaysia ini masih relatif murah," kata Titik dalam diskusi virtual bersama AJI (2/9/2021).

Cukai Rendah, Rokok Murah

Kepala bidang Advokasi dan Kemitraan Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Sakri Sabatmaja membeberkan data terkait situasi dan kondisi pevalensi merokok di Indonesia, di mana Indonesia menduduki tiga besar jumlah perokok usia di atas 10 tahun setelah India dan China, saat ditanya Warta Ekonomi soal prevalensi perokok usia dini (17/10/2021).

Saat di webinar Dukungan Kenaikan Cukai dan Harga Rokok (6/10/2021), Sakri menjelaskan,  masifnya iklan rokok yang menampilkan harga murah melalui media sosial dan internet menjadi penyebab masyarakat dapat dengan lebih mudah membeli rokok. Bahkan hal ini banyak menarik minat konsumsi rokok di kalangan anak-anak dan remaja Indonesia.

"Jumlah masyarakat yang mengonsumsi rokok di Tanah Air semakin meningkat meskipun sedang dalam masa pandemi Covid-19 karena adanya persaingan iklan rokok yang menawarkan harga rendah sehingga masyarakat tertarik membeli. Apalagi anak muda yang hobinya belanja online," paparnya.

Karenanya, ia meminta pemerintah menaikkan tarif cukai produk rokok di Indonesia untuk bisa meningkatkan kesehatan masyarakat demi mengurangi konsumsi rokok.

"Sudah ada indiksasi pabrik sudah berbondong-bondong ke kretek tangan lagi. Saran saya, ayo hajar terus naikkan saja harga cukai (rokok)," ujarnya menggebu-gebu.

Ia bahkan miris dengan adanya fenomena masyarakat yang tidak memiliki uang, tapi memilih menahan lapar dibandingkan tidak bisa mengonsumsi rokok. Kondisi ini semakin memprihatinkan, lanjutnya, karena tidak ada regulasi yang jelas untuk mengatur tampilan iklan-iklan tersebut, baik papan billboard di pinggir jalan maupun di internet.

Dia mengajak seluruh pemerintah daerah untuk lebih tegas meningkatkan penerapan aturan yang berhubungan dengan kawasan tanpa asap rokok agar bisa mengurangi konsumsi masyarakat, baik dalam membeli maupun mengonumsi rokok.

Sakri pun berharap pemda bisa lebih gencar mengedukasi warganya tentang bahaya rokok dan mampu memanfaatkan pendanaan yang berasal dari pajak rokok untuk kegiatan sosial kesehatan yang ada di daerahnya masing-masing.

"Kami sangat sepakat kalau pengendalian dan regulasinya diperkuat dengan kenaikan cukai (rokok). Silakan saja (naikkan cukai), jangan direm," tegasnya.

Pernyataan Sakri diamini oleh data Bank Dunia bertajuk Cigarette Affordability in Indonesia: 2002 2017, yang dikutip dari kajian WHO Regional Office for South-East Asia (1/10/2021). Penelitan tersebut menyebutkan bahwa semakin murah harga rokok menyebabkan semakin tinggi konsumsinya.

"Rokok yang murah terjangkau semua segmen masyarakat dan mendorong inisiasi merokok serta menghalangi upaya berhenti merokok. Selain itu, banyak orang miskin dan anak-anak membeli rokok secara eceran per batang dari penjual jalanan sehingga rokok menjadi semakin mudah didapatkan," tulis WHO.

Hal senada juga disampaikan oleh Prof Hasbullah Thabrany, Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau. Menurutnya, harga rokok di Indonesia saat ini masih sangat murah sehingga masyarakat makin mudah membeli rokok. Pada akhirnya para pecandu rokok belum bisa dikendalikan.

"Dari sisi industri, sangat agresif memasarkan iklan-iklan dengan berbagai teknik di internet. Tanpa adanya upaya yang keras dan harganya mahal, ya pasti sulit untuk menurunkan prevalensi merokok," papar Guru Besar Universitas Indonesia ini kepada Warta Ekonomi (11/10/2021).

Masih menurut penelitian WHO, tarif CHT yang rendah menjadi biang keladi dari harga rokok yang murah dan terjangkau oleh berbagai kalangan. Meskipun cukai dan harga meningkat secara berkala (sebesar sekitar 10% per tahun), produk-produk tembakau menjadi semakin terjangkau karena kenaikan harga masih berada di bawah tingkat inflasi dan kenaikan tingkat pendapatan masyarakat.

"Sebuah analisis tren harga tembakau di Indonesia mengindikasikan bahwa produk-produk tembakau 50% lebih terjangkau pada 2016 dibandingkan 2002. Menurut sejumlah analisis, porsi produk domestik bruto (PDB) yang diperlukan untuk membeli 100 bungkus rokok juga diperkirakan menurun dari 6% pada tahun 2002 menjadi 4% pada 2016, yang berarti rokok semakin terjangkau bagi kebanyakan orang," bunyi kajian tersebut.

Hasbullah sependapat dengan WHO bahwa penurunan konsumsi rokok baru bisa signifikan terjadi bila tarif cukai rokok di Indonesia dua kali lipat dari harga rata-rata inflasi. Dia juga bilang kenaikan harga rokok juga bisa menangkal angka perokok muda karena keterbatasan finansial.

"Idealnya, paling sedikit naiknya dua kali dari kenaikan rata-rata pendapatan penduduk, ya paling sedikit 10%. Semakin banyak semakin bagus," bebernya.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rosmayanti
Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: