Bagus Wahyu Prasetyo dalam penelitiannya berjudul Cigarette Prices in a Complex Cigarette Tax System: Empirical Evidence from Indonesia menyebut, "struktur berlapis ini juga dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan besar untuk mengurangi kewajiban cukainya dengan menggunakan layer-layer cukai rendah, sehingga rokok makin terjangkau."
Agus pun sepemikiran bahwa permasalahan pada cukai rokok, bukan saja tarif cukainya yang rendah. Masalah lainnya, layer yang banyak dalam penerapan cukai rokok. Saat ini cukai rokok Indonesia memiliki 10 layer, yang membuatkan lebih banyak dibandingkan dengan negara lain.
"Perlu ada penyerhanaan dari tarif cukai rokok, idealnya hanya ada tarif sigaret kretek tangan dan sigaret kretek mesin. Ini akan efektif, rokok sama harganya," ujarnya.
Lebih lanjut, ia bilang bahwa sistem layer cukai tembakau yang banyak ini menjadi salah satu penyebab terhambatnya pengendalian dan penurunan jumlah perokok di Indonesia.
"Kalau sistem layer cukainya masih seperti ini, masih banyak, ini tentu saja kan ada disparitas harga yang cukup signifikan. Kalau sistem layer cukai ini tidak disederhanakan, pilihan harga rokok akan sangat banyak," bebernya.
Dalam situasi seperti ini, imbuhnya, sekalipun harga rokok naik, konsumen akan tetap dengan mudah mencari pengganti merek rokok yang lain.
"Ketika perokok tidak bisa membeli rokok karena harga yang tinggi, dia akan membeli harga substitusi yang rendah, dengan merek yang tentu saja berbeda. Perokok bisa saja turun grade ketika harga rokok yang biasa dia konsumsi harganya naik," papar Agus.
Banyaknya layer dalam sistem tarif CHT, kata dia, menyebabkan kebijakan cukai menjadi tidak efektif. Sistem cukai yang berlaku saat ini juga memudahkan perusahaan rokok untuk memproduksi rokok dengan jenis dan merek yang berbeda pada golongan yang paling rendah.
"Artinya dengan sistem seperti ini perusahaan atau produk rokok A misalnya bisa memproduksi dengan kemiripan rasa, kemudian menaruh harga di layer yang paling rendah, dan harganya masih terjangkau anak-anak," katanya.
Agus mengatakan pelaksanaan simplifikasi struktur tarif CHT ini lebih baik disegerakan secepat mungkin.
"Kalau kita kaitkan pada saat pandemi seperti ini justru saat yang paling tepat kalau pemerintah mau melaksanakan itu," tandasnya.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan membantah pandangan Agus. Ia bilang, struktur tarif cukai hasil tembakau yang saat ini terdiri dari 10 layer adalah yang paling ideal, berkeadilan, dan bijak bagi jenis produk serta golongan pabrik I, II, dan III (besar, menengah, dan kecil) yang jumlahnya sekitar 700-an unit pabrik aktif dengan ukuran atau skala dan pasar yang bervariasi.
"Kami berharap pemerintah mempertahankan (struktur cukai) 10 layer," tuturnya kepada Warta Ekonomi, Senin (25/10/2021).
Henry pun membeberkan dampak apabila simplifikasi cukai dijalankan. Pertama, berdampak buruk bagi kelangsungan pabrik kecil dan menengah dalam jangka pendek dan juga pabrik besar dalam jangka panjang karena harga produk tidak terjangkau oleh segmen pasarnya dan konsumen akan berpindah ke rokok ilegal yang lebih murah.
Kedua, pabrik golongan kecil dan menengah akan menjadi korban, dan akan membuat industri hasil tembakau (IHT), khususnya kretek, menjadi tidak sehat. Hal ini berbahaya bagi kedaulatan bangsa Indonesia.
"Kami berharap pemerintah tidak melakukan simplifikasi tarif cukai rokok," katanya berharap.
Ia juga membantah klaim WHO yang menyebut bahwa struktur cukai membuat harga rokok murah, sehingga bisa dijangkau oleh konsumen kalangan anak-anak dan remaja.
"Tidak ada hubungannya (struktur tarif cukai membuat harga rokok murah). Prevalensi anak merokok bisa dicegah dengan pendidikan untuk orang tua dan anaknya, bukan melalui instrumen cukai," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rosmayanti
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: