Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Wacana Kenaikan Cukai Rokok dan Ironi Prevalensi Perokok Usia Dini

Wacana Kenaikan Cukai Rokok dan Ironi Prevalensi Perokok Usia Dini Kredit Foto: Antara/Irfan Anshori

Konsisten dengan pernyataan Hasbullah, kajian ilmiah bertajuk Tobacco Economics in Indonesia, yang diakses (13/10/2021), menunjukkan elastisitas harga sebesar -0,29 hingga -0,67, atau bahwa kenaikan harga rokok sebesar 10 persen mengakibatkan penurunan konsumsi rokok sebesar 2,9 hingga 6,7%.

Penelian itu pun menyebutkan bahwa kaum muda dan orang-orang dengan pendapatan rendah sangat responsif terhadap kenaikan harga tembakau. Karenanya, menjaga harga tembakau riil tetap tinggi melalui perpajakan merupakan alat yang paling efektif dalam mencegah penyerapan dan mendorong penghentian merokok di kalangan remaja.

"Perkiraan baru-baru ini menunjukkan bahwa elastisitas harga permintaan di kalangan kaum muda bisa tiga kali lebih besar daripada elastisitas untuk orang dewasa — yang berarti bahwa kaum muda jauh lebih mungkin untuk berhenti, mengurangi konsumsi, atau tidak mulai menggunakan tembakau sebagai tanggapan terhadap perubahan harga," tulis penelitian tersebut.

Oleh sebab itu, Hasbullah menyarankan pemerintah untuk terus meningkatkan cukai rokok dan mengimplemetasikan simplifikasi tarif cukai demi mencegah keterjangkauan harga rokok di masyarakat, khususnya anak-anak.

Tak Berdiri Sendiri

Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno menuturkan, untuk menurunkan prevalensi merokok, terkhusus pada kalangan remaja, tidak cukup hanya dengan menaikkan cukai rokok atau harga rokok yang mahal, tapi harus dibarengi dengan instrumen yang lain. Antara lain larangan iklan dan penjualan rokok eceran.

Lebih lanjut, ia mengatakan kebijakan pelarangan iklan akan efektif untuk melindungi kelompok rentan seperti anak-anak dari jeratan konsumsi rokok. Misalkan harga rokok atau cukai naik, tapi rokok masih bisa dijual eceran, lanjutnya, bahkan anak-anak SD dengan uang saku rata-rata antara Rp5 ribu-Rp10 ribu, mereka masih bisa menjangkau rokok.

"Artinya, tidak bisa berdiri sendiri, harus dibarengi dengan instrumen pengendalian yang lain, yaitu larangan iklan rokok termasuk larangan penjualan eceran, kemudian penerapan kawasan tanpa rokok yang lebih masif dan ketat," paparnya melalui sambungan telepon kepada Warta Ekonomi (11/10/2021).

Dia pun menggarisbawahi, setiap kebijakan yang ditujukan untuk mengendalikan konsumsi tembakau harus dilakukan secara bersamaan, tidak bisa terpisah-pisah. Kebijakan tersebut antara lain larangan penjualan eceran, larangan display, peringatan kesehatan bergambar, juga adanya kawasan bebas rokok.

"Instrumen ini yang harus saling mendukung, tidak bisa hanya satu instrumen saja. Semuanya perlu dilakukan secara bersamaan, baik itu kenaikan cukai, larangan total banned iklan dan sponsorhip, termasuk larangan penjualan ketengan, serta penegakkan kawasan tanpa rokok," jelas Agus.

Hasbullah membeberkan, meningkatnya jumlah perokok anak dipengaruhi oleh masifnya iklan, promosi, dan sponsor rokok, serta harga rokok yang masih sangat terjangkau bagi kantong anak-anak.

Berbagai taktik juga dilakukan industri rokok demi menggaet anak muda untuk mulai merokok dan menjadi kecanduan, mulai dari membuat iklan yang bergaya anak muda keren, meletakkan iklan-iklan di sekitar sekolah, sampai membuat promosi harga per batang di iklan-iklannya.

Oleh sebab itu, Hasbullah meminta pemerintah untuk membatasi iklan-iklan iklan yang ditayangkan di sekitar kehidupan masyarakat seperti di televisi, baliho, dan media sosial. Sebab, iklan merupakan salah satu faktor pemicu rokok.

Menurutnya, mengendalikan konsumsi dengan cara menaikkan tarif cukai saja tidak cukup. Masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa rokok menimbulkan candu dan berbahaya bagi kesehatan.

"Kalau tidak ada kenaikan cukai yang signifikan dan kampanye tentang bahaya rokok, pembatasan iklan rokok, upaya menjauhkan gambar atau benda rokok dari anak-anak usia dini, ya (penurunan prevalensi) tidak akan tercapai," tegasnya.

Sejumlah negara lain telah membuktikan bahwa penerapan cukai yang tinggi dan kombinasi berbagai kebijakan pengendalian tembakau lainnya mampu menekan prevalensi perokok, khususnya usia dini.

Menurut laporan Jurnal Public Health Research & Practice, yang dilansir dari laman ABC (12/10/2021), data untuk negara bagian New South Wales Australia misalnya, menunjukkan dalam 20 tahun terakhir, jumlah remaja yang merokok telah menurun sebesar hampir 20 persen. 

Anita Dessaix dari Cancer Institute of New South Wales menjelaskan bahwa 20 tahun lalu, penduduk usia 12 hingga 17 tahun yang merokok mencapai 23,5 persen, dan tinggal 6,7 persen di tahun 2016.

"Ada sejumlah kebijakan yang berpengaruh besar terhadap hal ini," ungkap Anita.

Dia menyebutkan kebijakan pengendalian tembakau yang berlaku di Australia, mulai dari keharusan bungkus rokok yang tanpa merek, harga rokok yang mahal, hingga kampanye publik tentang bahaya rokok, efektif menekan prevalensi perokok muda.

"Kami bisa pastikan harga rokok yang sangat mahal sangat efektif. Kampanye publik juga cukup efektif," imbuhnya.

Faktor lainnya adalah memperluas kawasan dilarang merokok, serta ketatnya pengawasan terhadap larangan menjual rokok kepada anak di bawah umur 18 tahun. Diketahui Pemerintah Australia menghabiskan AUD155.084.345 untuk pengendalian tembakau, termasuk pajak dan kenaikan harga, larangan iklan dan lingkungan bebas asap rokok, untuk mengamankan penurunan prevalensi merokok di kalangan remaja.

Negara tetangga Indonesia, Singapura melalui Badan Lingkungan Nasional (NEA) mengatakan sejumlah kebijakan anti-rokoknya telah menunjukkan beberapa keberhasilan. Mengutip Channel News Asia (12/10/2021), misalnya, sejak awal 1970-an, Pemerintah Singapura telah mengampanyekan gaya hidup bebas asap rokok di Singapura.

Menurut NEA, di awal-awal kemerdekaan Singapura, merokok masih diperbolehkan di dalam ruangan. Namun, tidak lama kemudian undang-undang yang mengatur larangan merokok di tempat tertentu diperkenalkan pada Oktober 1970.

Sejak saat itu tingkat merokok di Singapura terus menurun. Pada 1992 jumlah penduduk Singapura yang merokok tercatat 18,3 persen. Pada 2019 angka tersebut turun menjadi 10,6 persen. NEA mengklaim keberhasilan ini tercapai melalui kombinasi dari penerbitan peraturan dan pendidikan publik.

NEA menjelaskan pihak berwenang telah mengatur iklan tembakau dan melakukan berbagai kampanye anti-merokok dengan memperhatikan daya pikatnya terhadap kaum muda. Pemerintah juga menaikkan usia minimum bagi perokok menjadi 21 tahun, membuat produk tembakau lebih mahal dengan pajak yang lebih tinggi, dan melarang merokok di lebih banyak tempat.

NEA mencatat ada lebih dari 32 ribu titik dilarang merokok di Singapura, termasuk di jalan-jalan kecil dan daerah pemukiman umum. "NEA telah secara bertahap memperluas daftar tempat terlarang merokok yang tercakup dalam undang-undang tersebut dengan berkonsultasi dengan publik dan pemangku kepentingan terkait," kata mereka.

Hal yang sama juga dialami Thailand. Kenaikan harga rokok lewat kenaikan cukai di negara tersebut menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah perokok secara umum. Prevalensi perokok di Negeri Gajah Putih ini turun drastis dari 70 persen tahun 1995 menjadi 40 persen di 2021. 

Thailand mengungkapkan bahwa pemerintah menggunakan 100 persen penerimaan cukai rokok dan alkohol untuk program promosi kesehatan. Bahkan sejak 2002 Thailand sudah membentuk Thai Health yang bertanggung jawab untuk mengelola cukai.

"Berbeda dengan pengalaman Thailand, di mana kenaikan harga rokok melalui kenaikan cukai dilakukan mampu membuat perokok berhenti merokok sehingga mengurangi prevalensi merokok," bunyi penelitian berjudul Impact of Price and Non-price Policies on Household Cigarette Consumption and Nutrient Intake in Smoking-tolerant Indonesia, dikutip (13/10/2021).

Begitu pula dengan Finlandia. Negara ini termasuk yang paling sukses menekan angka perokok di dunia. Saat ini, jumlah perokoknya kurang dua persen saja. Sebab Finlandia melakukan pelarangan berbagai iklan rokok di media massa maupun billboard di jalanan. Pemerintah juga membuat lebih banyak ruang publik yang bebas asap rokok.

Selain itu, Finlandia menaikkan pajak bagi toko yang menjual rokok atau produk tembakau lainnya. Setiap toko yang ingin menjual rokok harus mengajukan proposal perizinan dan membayar biaya perizinan tersebut. Ini belum termasuk biaya tambahan yang harus dibayarkan tiap tahun. Biaya tambahan ini digunakan untuk membayar uang lembur pegawai pemerintah yang bertugas mengawasi mereka.

Namun, justru biaya tambahan inilah yang paling mahal karena dihitung per kasir. Biayanya sendiri bisa lebih dari 500 dolar AS (sekitar Rp6,6 juta) untuk setiap kasirnya setiap tahun. Jadi bila ada toko dengan 10 kasir maka mereka bisa saja membayar lebih dari 5.000 dolar AS (Rp66 juta) per tahun.

"Jadi, biayanya cukup mahal hanya untuk bisa mendapatkan izin menjual produk ini," kata Kaari Paaso, Kepala Unit Pencegahan Bahaya dari Ministry of Health and Social Affairs, dilansir dari CNN (12/10/2021).

Yang unik, mulai tahun 2017, Finlandia melarang seseorang merokok di balkon rumah orang lain jika keberadaan mereka dirasa mengganggu si pemilik rumah maupun tetangganya, terutama jika asap pembakaran rokoknya kemana-mana.

Selain itu penduduk Finlandia tak lagi diperkenankan menghisap rokok di mobil jika ada penumpang berusia 15 tahun ke bawah di dalamnya, tak peduli meski itu adalah kendaraan pribadi mereka.  Untuk mencegah pengenalan rokok pada generasi muda, pemerintah juga membatasi penjualan berbagai produk yang mirip rokok seperti permen atau cokelat yang berbentuk seperti rokok.

Simplifikasi Cukai

WHO dalam kajiannya menyebut bahwa struktur cukai di Indonesia yang kompleks membuat harga tetap terjangkau dan menggagalkan tujuan kesehatan masyarakat untuk mengurangi konsumsi tembakau.

"Struktur cukai yang rumit menguntungkan pengembangan produk-produk tembakau di pasaran, memberikan celah untuk penghindaran dan pengelakan cukai, dan menghambat manfaat-manfaat kesehatan masyarakat dari cukai hasil tembakau yang lebih tinggi karena struktur tersebut menciptakan opsi untuk beralih ke produk-produk yang lebih murah," tulis WHO.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rosmayanti
Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: