Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kalau Bisa Didengar Baik-baik, Orang yang Selamat dari Tragedi 1965 Desak Inggris Minta Maaf...

Kalau Bisa Didengar Baik-baik, Orang yang Selamat dari Tragedi 1965 Desak Inggris Minta Maaf... Kredit Foto: Bettmann/Bettmann Archive
Warta Ekonomi, London -

Orang-orang yang selamat dan keturunan dari mereka yang dibantai dalam pembersihan anti-komunis Indonesia tahun 1965-1966 mendesak pemerintah Inggris untuk meminta maaf atas perannya dalam apa yang digambarkan dalam laporan rahasia Badan Intelijen Pusat (CIA) sebagai “salah satu pembunuhan massal terburuk abad ke-20”.

Pekan lalu, Observer menerbitkan bukti bahwa Inggris berperan dalam menghasut pembunuhan. Diperkirakan bahwa setidaknya 500.000 orang dibunuh antara tahun 1965 dan 1966 oleh tentara Indonesia, milisi dan warga.

Baca Juga: Ada Fakta Baru dari Dokumen 'Hitam' tentang Tragedi 1965, Jokowi Ditagih ini...

4301.jpg?width=620&quality=85&auto=format&fit=max&s=4b96502a3d873490f5d0d98bf9e63766

Mengutip laporan Guardian, Senin (25/10/2021) dokumen-dokumen yang dideklasifikasi menyoroti bagaimana lengan propaganda perang dingin Departemen Luar Negeri, Departemen Riset Informasi (IRD), mengambil keuntungan dari kudeta yang gagal oleh seorang perwira penjaga istana sayap kiri pada 30 September 1965.

Menyalahkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan etnis Tionghoa untuk kudeta, para pejabat Inggris mengarahkan buletin dan siaran radio yang menghasut kepada kaum anti-komunis Indonesia termasuk jenderal-jenderal angkatan darat sayap kanan dan menyerukan “PKI dan semua organisasi komunis” untuk “dilenyapkan”.

Propaganda hitam itu dimaksudkan untuk ditulis oleh “patriot Indonesia” yang diasingkan tetapi sebenarnya ditulis oleh operator Inggris di Singapura. Tidak ada bukti bahwa PKI terlibat dalam kudeta yang gagal itu.

Pembunuhan itu juga membuka jalan bagi Jenderal Suharto untuk merebut kekuasaan dari Presiden Sukarno yang berhaluan kiri dan mendirikan kediktatoran korup yang berlangsung selama 32 tahun.

Bedjo Untung, 73, kini Ketua Lembaga Pengkajian Pembantaian 1965/66 Indonesia (YPKP65), kemarin menuntut permintaan maaf dan penjelasan lengkap dari pemerintah Inggris.

“Kami sebagai korban marah. Rekonsiliasi tidak mungkin terjadi tanpa kebenaran, jadi tolong ungkapkan kebenarannya.”

Baru berusia 17 tahun, Bedjo telah bergabung dengan organisasi mahasiswa yang memiliki ideologi “anti-imperialis, sosialis” yang sama dengan Sukarno. Ayahnya adalah seorang guru yang disegani di desanya di Pemalang, Jawa Tengah. Baik Bedjo maupun ayahnya tidak pernah menjadi anggota PKI, katanya. Namun, ayahnya dipenjara selama 11 tahun.

Bedjo kemudian ditangkap dan dipenjarakan sebagai tahanan politik selama sembilan tahun oleh rezim Suharto. Selama waktu ini, dia disiksa, disetrum dan dipukuli, dan dipaksa bekerja di perkebunan. Dia menyalahkan pembunuhan massal pada kekuatan kekaisaran dalam mendukung Suharto untuk kepentingan mereka sendiri:

“Saya mendesak Inggris, Amerika Serikat, Australia dan negara-negara lain yang mengambil keuntungan dari pembunuhan massal orang Indonesia yang tidak bersalah, anggota Partai Komunis Indonesia dan pengikut Sukarno, untuk mengakui tanggung jawab.”

Ayah Soe Tjen Marching juga disiksa dan dipenjarakan selama dua setengah tahun karena militer mencurigainya sebagai anggota PKI. Soe Tjen, 50, dosen di Soas University of London, mengatakan ayahnya akan dilantik sebagai salah satu pengurus PKI cabang Surabaya, tetapi kekacauan setelah kudeta yang gagal membuat pemberitahuan pengangkatannya tidak sampai ke partai. kantor pusat di Jakarta.

“Itulah sebabnya ayah saya tidak dipenggal. Militer tidak tahu siapa dia,” katanya. Dia juga meminta Inggris untuk meminta maaf. “Dampaknya masih besar pada para penyintas serta anggota keluarga mereka.”

Melaporkan kisah Observer, South China Morning Post mencatat Kamis lalu: “Pembunuhan itu meninggalkan bekas luka yang dalam pada jiwa Indonesia yang tersisa hingga hari ini.”

Pemerintah Inggris selalu membantah terlibat, tetapi dokumen yang dideklasifikasi menceritakan kisah yang berbeda. Pada tahun 2020, Raja Belanda Willem-Alexander meminta maaf atas “kekerasan berlebihan” yang dilakukan di Indonesia selama pemerintahan kolonial negaranya, yang berakhir pada tahun 1949.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: