Managing Director Political Economy & Policy Studies (PEPS) menilai kebijakan harga tes PCR di Indonesia cenderung bermasalah. Ia melihat adanya potensi kerugian negara akibat harga tes PCR di negeri ini. Berdasarkan perhitungannya, besaran kemungkinan kerugian negara akibat bisnis pandemi dari tes PCR bisa mencapai Rp10,5 triliun.
"Hanya dari tes PCR. Mayoritas PCR itu dilakukan atas biaya pemerintah melalui 3T. Kalau begitu, mayoritas Rp10,5 triliun itu adalah kerugian negara," kata Anthony dalam diskusi virtual Narasi Institute, Jumat (29/10/2021).
Baca Juga: Pertanyakan Penghapusan Pasal Imunitas, PEPS: Bagaimana Implikasinya terhadap Kebijakan Tes PCR?
Sementara itu, pihak yang menentukan harga tes PCR belakangan ini adalah Presiden Joko Widodo sendiri. Presiden telah dua kali mengumumkan perubahan harga PCR pada 15 Agustus dan 27 Oktober lalu. Melihat hal ini, Anthony mengatakan Presiden dapat dicurigai menguntungkan pihak lain.
"Kenapa tidak dari awal dua bulan itu langsung Rp275 ribu? Kenapa harus melalui Rp500 ribu? Ini yang patut direnungkan. Kalau ada kerugian negara dalam hal ini, maka presiden yang langsung membuat kerugian negara. Ini bahaya sekali," ujarnya.
Di sisi lain, ia meminta DPR, BPK, polisi, jaksa, dan KPK melakukan audit kepada perusahaan yang melakukan impor alat tes PCR. Pasalnya, ia melihat adanya potensi tindakan transfer pricing.
"Dilihat berapa biaya harganya? Itu semua dokumen ada. Apakah sudah benar atau tidak? Apakah ada transfer pricing? Yang melakukan eksportir itu siapa? Kalau beli dari India tapi bilangnya dari Singapura, pasti ini transfer pricing," tandasnya.
Menurut Anthony, potensi terjadinya transfer pricing ini perlu menjadi sorotan. Hal ini disebabkan ia melihat adanya celah bisnis pandemi dalam kebijakan tes PCR.
"Jangan-jangan uangnya buat tax amnesty lagi," imbuhnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Alfi Dinilhaq
Tag Terkait: