Pemerintahan Jokowi Harus Gerak Cepat Tanggapi Putusan MK, Yusril: Jika Tidak, Bahaya!
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra blak-blakan menanggapi Putusan MK yang menyatakan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat.
Menurut Yusril, Pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak punya pilihan kecuali bekerja keras memperbaiki UU Cipta Kerja pasca-putusan MK pada hari Kamis (25/11/2021). Dalam putusan MK tersebut, jika dalam dua tahun UU tersebut tidak diperbaiki, UU itu otomatis menjadi inkonstitusional secara permanen.
Baca Juga: Putusan MK Soal UU Cipta Kerja Seolah Menunjukkan Kekhawatiran Masyarakat...
Selain itu, MK juga menyatakan, jika dalam dua tahun tidak diperbaiki, semua UU yang telah dicabut oleh UU Cipta Kerja itu otomatis berlaku kembali.
"Ini jelas dapat menimbulkan kekacauan hukum," jelas Yusril Ihza Mahendra dalam keterangannya, Jumat (26/11).
Dalam putusan tersebut, MK juga melarang pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana terhadap UU Cipta Kerja selain yang sudah ada. Selain itu, MK juga melarang pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan baru yang berdampak luas yang didasarkan atas UU Cipta Kerja selama UU itu belum diperbaiki.
Merespons hal tersebut, Mantan Menkumham dan Mensesneg itu menilai, Putusan MK itu mempunyai dampak yang luas terhadap Pemerintahan Presiden Jokowi yang kini tinggal lebih kurang tiga tahun lagi sampai tahun 2024.
Apalagi, kebijakan-kebijakan super cepat yang ingin dilakukan Pemerintah Presiden Jokowi sebagian besar justru didasarkan kepada UU Cipta Kerja itu. Oleh sebab itu, tanpa perbaikan segera, kebijakan-kebijakan baru yang akan diambil Presiden Jokowi otomatis terhenti. Hal tersebut membuat Pemerintah Jokowi berbahaya.
Pasalnya, akan berpotensi melumpuhkan Pemerintah Jokowi yang justru ingin bertindak cepat memulihkan ekonomi yang terganggu akibat pandemi. Oleh sebab itu, menurut Yusril Ihza Mahendra, Pemerintah Jokowi dapat menempuh dua cara mengatasi hal tersebut.
Pertama, memperkuat Kementerian Hukum dan HAM sebagai law centre dan menjadi leader dalam merevisi UU Cipta Kerja. Kedua, pemerintah dapat segera membentuk Kementerian Legislasi Nasional yang bertugas menata, menyinkronisasi, dan merapikan semua peraturan perundang-undangan dari pusat sampai ke daerah.
Sebab, menurut Yusril, keberadaan kementerian baru itu sebenarnya sudah disepakati antara pemerintah dengan DPR pada akhir periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi. Namun, hingga kini kesepakatan itu belum dilaksanakan karena mungkin terbentur dengan pembatasan jumlah kementerian yang diatur dalam UU Kementerian Negara.
Menurut, sejak awal UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan cara meniru Omnibus Law di Amerika dan Kanada itu bermasalah. "Kita mempunyai UU No 12 Tahun 2011 tengang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Setiap pembentukan peraturan maupun perubahannya, secara prosedur harus tunduk pada UU itu," jelas Yusril Ihza Mahendra.
"MK yang berwenang menguji materil dan formil terhadap UU, menggunakan UUD 45 sebagai batu ujinya jika melakukan uji materil. Sementara, jika melakukan uji formil, MK menggunakan UU No 12 Tahun 2011 itu," sambungnya.
Pasalnya, ketika UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan meniru gaya Omnibus Law diuji formil dengan UU No 12 Tahun 2011, UU tersebut bisa dirontokkan oleh MK. MK akan memutus bahwa prosedur pembentukan UU Cipta Kerja menabrak prosedur pembentukan UU sebagaimana diatur oleh UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan.
Oleh karena itu, menurut Yusril, dia tidak heran dan tidak kaget jika MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional. Masih bagus MK hanya menyatakan inkonstitusional bersyarat. Kalau murni inkonstitusional, Pemerintah Presiden Jokowi benar-benar berada dalam posisi yang sulit.
Maka, Yusril Ihza Mahendra menyarankan agar Presiden Jokowi bertindak cepat melakukan revisi menyeluruh terhadap UU Cipta Kerja, tanpa harus menunggu dua tahun.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: