Pengamat: Legal Standing Kepulauan Natuna dalam Perspektif Maritim Sudah Clear 100% Milik Indonesia!
Pemberitaan di media nasional dan luar negeri terkait Pemerintah China yang memprotes pihak Indonesia untuk menghentikan pengeboran minyak dan gas di Laut Natuna Utara sedang menjadi trending saat ini. Pemerintah China menganggap wilayah laut tersebut merupakan wilayahnya.
Pemberitaan di Reuters menyebutkan bahwa China mendesak Indonesia agar menyetop pengeboran minyak dan gas alam di wilayah maritim yang sama-sama diklaim kedua negara.
Pernyataan otoritas China tersebut mendapat tanggapan Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Nasional Demokrat, Muhammad Farhan, kepada Reuters, Rabu (1/12/2021), yang menyatakan, “Jawaban kami sangat tegas, bahwa kami tidak akan menghentikan pengeboran karena itu adalah hak kedaulatan kami."
Pengamat Maritim Indonesia dari Perkumpulan Ahli Keamanan dan Keselamatan Maritim Indonesia (AKKMI), Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa SSiT., M. Mar, angkat bicara terkait pernyataan otoritas China yang meminta penghentian pengeboran minyak dan gas di laut Natuna Utara.
Baca Juga: Jenderal Andika Perkasa Diminta Perkuat Pengamanan Laut Natuna Utara Imbangi Pergerakan China
"Permintaan untuk menghentikan kegiatan pengeboran minyak oleh pihak pemerintah China kepada Pemerintah Indonesia tidak tepat, bahkan saya katakan cenderung berlebihan. Karena pengeboran atau pendirian rig di laut Natuna Utara itu masih berada di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Legal standing kita di mata dunia Internasional terhadap Kepulauan Natuna sudah sangat clear, wilayah tersebut 100% milik Indonesia" kata Capt. Hakeng dalam keterangan persnya, di Jakarta, Sabtu (4/12/2021).
Boleh jadi pemerintah China mengeluarkan pernyataan itu karena didasari oleh klaim sepihaknya berupa garis imajiner di wilayah laut mereka atau kita mengenalnya dengan istilah 9 garis putus (9 Dash Line) di Laut China Selatan.
Padahal keabsahan dan legalitas 9 garis putus tersebut pun tidak jelas, tidak memiliki dasar hukum internasional serta tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea, Konvensi PBB tentang Hukum Laut). Dengan demikian apabila dasar pemerintah China mengeluarkan klaim adalah 9 garis putus tersebut, tentunya tidak dapat diakui secara hukum, sambung Capt. Hakeng.
Dijelaskannya lagi China sebagai negara yang ikut meratifikasi UNCLOS, seharusnya sadar bahwa yang dilakukan tersebut bertentangan dengan hukum internasional. Hal itu sebagaimana telah diatur di dalam UNCLOS, yakni kedaulatan suatu negara atau wilayah laut tertentu diukur berdasarkan jarak dari titik pangkal pulau terluar. Bukan berdasarkan ketentuan lain, termasuk latar belakang sejarah.
Keagresifitasan dan sikap terang-terangan China di wilayah perairan Natuna Utara tentu dapat mengganggu stabilitas dan kedaulatan negara. Karena itu pihak pemerintah Indonesia harus dengan tegas menyikapi isu ini.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Bayu Muhardianto
Tag Terkait: