Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pacu Dekarbonisasi Maritim, Indonesia Didorong Pimpin Transformasi Pelayaran Rendah Emisi di Asia Tenggara

Pacu Dekarbonisasi Maritim, Indonesia Didorong Pimpin Transformasi Pelayaran Rendah Emisi di Asia Tenggara Kredit Foto: HUMI
Warta Ekonomi, Jakarta -

Di tengah gencarnya komitmen negara-negara maritim untuk menekan emisi gas rumah kaca demi masa depan yang lebih hijau, sebuah laporan terbaru dari konsultan manajemen global Arthur D. Little (ADL) mengingatkan bahwa upaya yang ada saat ini masih belum cukup untuk memastikan tercapainya target net-zero atau nol emisi karbon pada tahun 2050. Laporan tersebut menyoroti bahwa tantangan struktural, kurangnya investasi dalam teknologi rendah karbon, serta lambatnya transisi energi bersih di sektor maritim menjadi penghambat utama yang perlu segera diatasi agar industri pelayaran global benar-benar mampu berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim secara signifikan.

Saat ini, sektor pelayaran menyumbang sekitar 3% dari total emisi global dan berpotensi melonjak menjadi 44% pada tahun 2050 jika tidak dilakukan intervensi. 

Bagi Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan jalur strategis, hal ini menjadi perhatian serius sekaligus peluang besar untuk memimpin transformasi kawasan. 

Laporan ADL bertajuk Cleaner Seas: Mitigating Maritime Emissions, yang dipaparkan dalam forum ASEAN Port & Logistics 2025, menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam membangun ekosistem pelayaran yang rendah karbon. 

Baca Juga: PIS Paparkan Peta Jalan Nol Emisi 2050 untuk Dekarbonisasi Industri Maritim

Terlepas dari komitmen kebijakan nasional melalui Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Peta Jalan Ekonomi Biru, sektor maritim Indonesia masih belum memiliki peta jalan yang konkret untuk menerjemahkan kebijakan ke dalam langkah-langkah dekarbonisasi yang dapat ditindaklanjuti. 

"Ada banyak strategi dan praktik terbaik yang dapat diadopsi dan digunakan dalam konteks Indonesia ketika kita mulai melihat infrastruktur pelabuhan," kata Daniel Chow, Principal Arthur D. Little. 

Empat Strategi Utama Menuju Dekarbonisasi

Daniel Chow mengusulkan empat jalur berkesinambungan yang dapat diadopsi oleh para pemangku kepentingan, mulai dari pemilik kapal dan pelabuhan hingga pemasok energi dan pemerintah. 

  1. Produksi dan adopsi bahan bakar rendah dan nol karbon

Kapal-kapal baru mulai dirancang untuk menggunakan bahan bakar alternatif, seperti metanol hijau, ammonia, dan hidrogen. Di tingkat global, sekitar 50% armada baru (berdasarkan tonase bruto) sudah dalam kategori dual-fuel atau alternative fuel-ready

Namun demikian, Daniel menegaskan bahwa bahan bakar seperti biodiesel atau blue fuel belum sepenuhnya memenuhi prinsip keberlanjutan jangka panjang. 

"Bahan bakar biru, seperti metanol biru, ammonia biru, dan hidrogen biru, tidak 100 persen terbarukan. Demikian juga dengan biodiesel, yang banyak digunakan di Indonesia, juga tidak sepenuhnya berkelanjutan."

Ia menambahkan bahwa e-metana (SNG), e-metanol, e-diesel, dan hidrogen hijau akan menjadi yang paling menjanjikan dalam jangka panjang karena biaya produksi yang lebih rendah dan kemampuannya untuk memenuhi standar regulasi.

Baca Juga: Indonesia Dapat Sorotan Dunia dalam Transformasi Maritim Global

"Yang benar-benar hijau dan terbarukan adalah bahan bakar listrik generasi berikutnya. Kami rasa hal ini membutuhkan investasi dan perhatian dalam dua puluh atau tiga puluh tahun ke depan," ujar Daniel.

  1. Manajemen Karbon dan Penetapan Harga Emisi

Penerapan regulasi, seperti IMO CII, EU-ETS, dan Fuel EU Maritime mendorong operator untuk mulai menghitung dan melaporkan emisi. Semakin banyak perusahaan besar yang secara sukarela menerapkan internal carbon pricing sebagai bentuk mitigasi risiko dan efisiensi operasional. 

Langkah ini relevan dengan rencana Indonesia untuk menerapkan pasar karbon nasional yang juga mencakup sektor transportasi laut pada tahap lanjutan.

"Pada dasarnya, hal ini dilakukan untuk mendorong dan mendorong masyarakat menuju masa depan rendah karbon," imbuh Daniel. 

  1. Optimalisasi Operasi dan Armada Kapal

Solusi jangka pendek yang dapat diambil saat ini mencakup penggunaan kapal berkapasitas lebih besar, penerapan sistem slow steaming, serta optimalisasi rute dan bahan bakar. Peluang yang paling menjanjikan terletak pada penerapan inovasi teknis mutakhir. 

Sebagai contoh, proyek Pelabuhan Tuas di Singapura telah mengintegrasikan otomatisasi penuh dan sistem logistik rendah emisi, di mana lebih dari 50% bahan bekas dan daur ulang digunakan dalam reklamasi lahan. Model ini dapat diadaptasi oleh pelabuhan-pelabuhan besar di Indonesia. 

  1. Pengembangan Koridor Pelayaran Hijau

Koridor hijau, yakni jalur pelayaran bebas emisi antara dua pelabuhan, telah diluncurkan di beberapa wilayah Eropa, Amerika, dan Asia pada tahun 2022. Ekosistem seperti ini bertindak sebagai pendorong utama untuk dekarbonisasi internasional. 

Beberapa koridor termasuk, Rotterdam, Gothenburg, Hamburg, Gdynia, Roenne, Tallinn, Kanada, dan Singapura.  

"Pengembangan koridor hijau ini dapat memberikan dorongan atau tekanan pada operator yang ragu-ragu untuk berinvestasi dalam teknologi hijau. Harapannya, inisiatif ini dapat meningkatkan kelayakan ekonomi, logistik, dan politik pelayaran tanpa emisi secara cepat," ungkap Daniel. 

Kolaborasi Jadi Kunci

Dekarbonisasi maritim bukan sekadar masalah teknologi, melainkan perihal transformasi sistemik. Terdapat banyak tantangan kompleks yang muncul menuntut kolaborasi berbagai pemangku kepentingan di seluruh sektor pelayaran, pemasok energi, lembaga keuangan, dan regulasi. 

Daniel menekankan, "Inisiatif ini memerlukan upaya kolektif lintas sektor yang selaras dan berkesinambungan untuk benar-benar mewujudkan transformasi dekarbonisasi maritim.”

Dalam konteks Indonesia, di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik, dan proyeksi pemerintah Indonesia akan bauran energi terbarukan mencapai 17-20% pada tahun 2030, mempercepat transformasi sektor pelayaran dan dekarbonisasi maritim tidak hanya berarti mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil, tetapi juga meningkatkan ketahanan energi nasional.

Dekarbonisasi Maritim Lebih dari Sekadar Keuntungan Finansial

Pergeseran tren menuju dekarbonisasi menuntut perusahaan untuk mengintegrasikan keberlanjutan ke strategi bisnis secara keseluruhan. Hal ini mencakup transformasi organisasi, analisis pasar, dan uji tuntas yang ketat terkait elemen-elemen ESG. Pelaporan yang akurat dan transparan mengenai hasil inisiatif keberlanjutan juga sangat penting karena minat investor yang semakin fokus pada prinsip-prinsip ESG.

Daniel menekankan pentingnya menganggap dekarbonisasi maritim lebih dari sekadar keuntungan finansial jangka pendek dan mulai mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan yang lebih luas. 

"Berinvestasi dalam teknologi hijau bukan hanya tentang keuntungan finansial, tetapi juga tentang meningkatkan kesehatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja baru bagi kaum muda, dan memastikan keberlanjutan bagi generasi mendatang," ungkap Daniel. 

Pendekatan ini pada akhirnya akan menciptakan ekosistem maritim yang lebih resilient, berkontribusi pada ekonomi biru yang berkelanjutan, dan memberikan warisan lingkungan yang lebih baik untuk masa depan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: