Rhenald pun sependapat jika ‘biaya demokrasi’ kita dinilai ‘mahal’ akibat melunturnya nilai musyawarah dan mufakat. Dia memaparkan, menurut catatan Litbang Kemendagri dan Kompas, biaya untuk menjadi wakil rakyat atau pemimpin sangat besar.
"Biaya untuk calon bupati atau walikota mencapai RP20-30 milar, sementara calon gubenrur sekitar Rp20-100 miliar. Untuk calon legislator, mecapai di atas Rp100 miliar padahal tingkat suksesinya di pemilu 2019 hanya sekitar 7,5 persen saja. Sementara untuk menjadi lurah di desa ataupun ketua RW di perkotaan, seseorang harus memiliki modal minimal Rp20-40 juta. Padahal kasus korupsi terus meningkat," paparnya.
Mungkin sistem politik kita harus diubah agar bagaimana pembiayaannya dan enforcementnya bisa lebih efektif. KPK mencatat di Pemkab dan Pemkot ada 409 kasus korupsi selama tahun 2014-2019, sebanyak 105 kepala daerah ditangkap. Sistem saat ini menyebabkan biayanya sangat mahal dan akhirnya membuat banyak pemimpin yang bekerja tidak untuk melayani publik dan malah melayani kepentingan sponsor.
"Inilah kegagalan sistem demokrasi kita yang pelru terus dikritik,” tegasnya.
Senada, Prof. Hikmahanto Juwana menyatakan, setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Pertama, mengubah pola pikir bahwa untuk memenangkan pemilihan harus dilakukan dengan kecurangan. Kedua, perlu adanya law enforcement terkait kebebasan pers saat ini dimana banyak media menyebarkan informasi hoaks.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat