Dukungan Bank Mandiri terhadap ESG, imbuhnya, juga tercermin dalam sustainable portofolio yang terus meningkat. Sampai dengan September 2021 tercatat total kredit perseroan ke sektor berkelanjutan telah mencapai Rp187,4 triliun atau sebesar 23% dari total kredit.
"Adapun pertumbuhan tertinggi terdapat pada pembiayaan ke sektor energi terbarukan (EBT) yang naik 108,43% secara year to date (ytd)," tukasnya.
Baca Juga: LESA 2021: Penting Literasi Sustainability Menuju Net Zero Carbon dan Peningkatan Inklusi Keuangan
Begitu juga dengan BRI. Disebutkan bahwa hingga akhir September 2021, tercatat BRI telah menyalurkan pembiayaan kepada aktivitas bisnis yang berkelanjutan (sustainable business activities) senilai Rp607,7 triliun atau setara 65,3% dari total kredit BRI.
Corporate Secretary BRI, Aestika Oryza Gunarto sampaikan, "dalam setiap partisipasi pembiayaan atau pun kredit terhadap suatu proyek yang berpotensi membahayakan lingkungan hidup, BRI akan menganalisis setiap risiko yang ada dan hanya akan turut berpartisipasi dalam pembiayaan proyek tersebut apabila poin-poin yang perlu dipenuhi oleh debitur telah dipenuhi seperti misalnya mengenai AMDAL dan sertifikasi sertifikasi lingkungan yang relevan."
Insentif yang Sama
Salah satu alasan perbankan nasional hingga kini masih enggan menghentikan pendanaanya ke proyek energi kotor ialah lantaran kesadaran publik untuk menekan bank-bank belum terbangun. Karenanya perlu adanya tekanan dari publik agar ada daya dorong atau keseriusan dari perbankan untuk beralih membiayai energi terbarukan.
"Mereka (bank) secara reputasi sangat rentan terhadap suara-suara yang menekan mereka. Kesadaran publik harus dibangun," tutur Sisilia.
Satu persoalan penting ialah kebijakan pemerintah, lanjutnya, yang memberikan karpet merah terus-menerus kepada sektor energi fosil, secara khusus batu bara.
"Kami mendorong agar ada kebijakan pemerintah yang memberikan setidak-tidaknya level insentif yang sama ke renewable energy dan batu bara," pintanya.
Menurut Sisilia, insentif begitu penting karena salah satu penyebab bank masih enggan berinvestasi pada energi terbarukan lantaran faktor risiko yang dianggap lebih besar ketimbang energi fosil.
"Padahal jika nature dari energi terbarukan dipahami dan negara punya political will, itu bisa diberi affirmative action. Kalau level insentifnya sama, pasti energi terbarukan yang akan maju daripada coal karena efek ke lingkungannya juga enggak sebesar coal," tegas dia.
Diketahui OJK telah menerbitkan roadmap keuangan berkelanjutan tahap II, yang bisa menjadi acuan bagi lembaga keuangan beralih ke bisnis lebih berkelanjutan dengan menerapkan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola.
"OJK mengembangkan ekosistem keuangan berkelanjutan yang meliputi kebijakan, produk, infrastruktur pasar, koordinasi kementerian/lembaga, dukungan non-pemerintah, sumber daya manusia, dan awareness," ujar Maftuchan.
Ekosistem yang dibentuk diharapkan memberi insentif bagi lembaga keuangan mulai berinvestasi di keuangan berkelanjutan.
"Bank dan lembaga penjamin perlu mulai memikirkan untuk mengurangi pembiayaan terhadap industri batu bara demi melindungi bumi untuk anak cucu ke depan," kata Maftuchan.
Andri meminta POJK 51/2017 untuk diterapkan secara sungguh-sungguh. Jangan sebatas branding saja. OJK diminta untuk lebih ketat dalam mengawasi bank-bank yang sudah berkomitmen dalam pembiayaan berkelanjutan.
Dia mendorong taksonomi hijau segera dijalankan dan diperjelas. Mengutip roadmap II yang dipublikasikan OJK, pengembangan taksonomi hijau bertujuan mengklasifikasikan aktivitas pembiayaan dan investasi berkelanjutan di Indonesia.
Adapun inisiatif keuangan berkelanjutan yang dikembangkan dalam roadmap tahap II akan mengintegrasikan tujuh komponen dalam satu kesatuan ekosistem. Tujuh komponen keuangan berkelanjutan itu terdiri dari kebijakan, produk, infrastruktur pasar, dan koordinasi kementerian/lembaga terkait. Kemudian, dukungan nonpemerintah, sumber daya manusia, serta awareness.
"Harus ada sanksi yang tegas, bukan hanya semacam surat edaran. Dipatuhi di awal, tapi jika dilanggar tidak ada konsekuensinya. Misalnya administrasinya dipersulit, dan sebagainya. Jadi, government tidak punya power untuk mendesak bank-bank tidak boleh mendanai PLTU dan tambang," tukasnya.
Setop Danai Batu Bara
Kepada Warta Ekonomi (9/12/2021), Binbin Mariana, Juru Kampanye Keuangan dan Energi dari Market Forces, mengatakan saat ini rata-rata kenaikan suhu bumi telah mencapai lebih dari 1,2 derajat celsius dan batu bara adalah salah satu penyumbang emisi terbesar dari sektor energi.
"Untuk mencapai komitmen Perjanjian Paris yang telah diratifikasi oleh Indonesia, kita harus berhenti menggunakan batu bara pada tahun 2040. Dengan masa operasional PLTU rata-rata adalah 25 tahun, artinya untuk mencapai komitmen Perjanjian Paris, kita harus berhenti membangun PLTU baru sekarang," ucapnya.
Dengan masih adanya pembiayaan PLTU baru oleh perbankan Indonesia saat ini, artinya bank-bank tersebut ikut andil dalam memperparah krisis iklim dan gagalnya kesepakatan Perjanjian Paris.
Pada KTT Perubahan Iklim di Glasgow November 2021, beber Binbin, setidaknya 23 negara telah berkomitmen untuk mengurangi penggunaan batu bara. Hal ini dapat berdampak pada menurunnya permintaan batu bara di masa mendatang.
"Artinya, pembiayaan batu bara tidak saja memperparah krisis iklim tapi juga berisiko secara finansial," tegas dia.
Bank adalah lembaga intermediasi yang seharusnya bertanggung jawab kepada penyimpan dana dengan tidak menyalurkan kredit ke energi kotor batu bara dan meningkatkan portfolio pembiayaan energi terbarukan. Dalam laporan berkelanjutannya, bank seharusnya melaporkan pembiayaan ke sektor yang menghasilkan emisi tinggi seperti batu bara. Karena, bank juga bertanggung jawab atas emisi dari debitur yang dibiayainya.
"Masyarakat, khususnya generasi muda saat ini sudah sangat paham terkait krisis iklim. Dengan masih membiayai batu bara, bank terpapar risiko reputasi yang tinggi dari kesadaran nasabah bank atas krisis iklim yang ditimbulkan batu bara. Apalagi, saat ini di Indonesia komposisi dana tabungan masih cukup besar, yaitu 33 % dari total sumber dana pihak ketiga bank," paparnya.
Lebih dari 100 lembaga jasa keuangan swasta global telah berkomitmen untuk berhenti menyalurkan pembiayaan ke proyek batu bara, baik PLTU maupun tambang. Di regional Asia, bank-bank terbesar di Singapura dan Malaysia telah mengumumkan akan berhenti membiayai batu bara, bahkan Bank of China juga baru saja mengumumkan mulai tahun 2021 akan berhenti membiayai batu bara.
"Dengan tidak memiliki kebijakan untuk berhenti membiaya batu bara, artinya perbankan Indonesia ‘ketinggalan kereta’ dan ‘tertinggal’, bahkan di kawasan Asia," tukas Binbin.
Salah satu cara untuk mendorong perbankan menghentikan pendanannya ke sektor batu bara, Anda bisa ikut menandatangani petisi berikut.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rosmayanti
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: