Menurut Sisilia Nurmala Dewi, Indonesia Team Leader 350.org, POJK 51/2017 bersifat sukarela. Sehingga OJK tidak punya mandat untuk memaksa bank menghentikan pendanaanya ke proyek-proyek energi kotor.
"Ada persoalan definisi dari apa yang bisa dimasukkan dalam sustainable financing. Itu yang menyebabkan angkanya (kredit hijau) besar sekali. Padahal presentasenya kecil sekali. BNI hanya 1 persen, Bank Mandiri 0,7 persen, dan BRI 1,5 persen," ungkapnya saat dihubungi Warta Ekonomi di Jakarta, (5/12/2021).
Baca Juga: Wamenkeu: IAI Harus Dukung Upaya Sustainable Financing di Indonesia
Padahal tren dunia saat ini mengarah pada penghentian pembiayaan ke energi kotor dan beralih ke pendanaan energi terbarukan. Sebut saja Jepang, Korea Selatan, hingga China, negara pengguna batu bara nomor satu di dunia.
Andri sampaikan, "stop the money, stop the project. Secara global ada 100 lebih bank yang sudah menyatakan untuk komitmen berhenti mendanai batu bara. Yang paling baru BoC (Bank of China)--dulu dikenal sebagai Bank of Coal–per kuartal tahun ini sudah tidak lagi mendanai (tambang) batu bara dan PLTU."
Sisilia menambahkan, di Asia sebetulnya sudah ada beberapa bank yang berkomitmen akan menghentikan aliran dananya ke proyek energi kotor seperti DBS pada tahun 2039 dan CIMB Niaga tahun 2040.
"Sebenarnya bank sudah melihat tren (penghentian dana ke energi kotor) ini. Butuh dorongan dari nasabah dan publik untuk bank benar-benar take action. Sedihnya, banyak bank di Indonesia yang berkomitmen akan jadi sustainable tetapi masih sangat sedikit uang yang dikeluarkan untuk proyek-proyek lingkungan hidup," ujarnya.
350.org mendorong supaya batu bara hanya disimpan saja dalam tanah, lebih baik untuk memanfaatkan energi terbarukan milik Indonesia yang luar biasa.
Dampak Batu Bara
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Didit Wicaksono, menjelaskan bahwa dari beberapa penelitian yang dilakukan Greenpeace dan temuan di lapangan, batu bara memberikan dampak buruk hampir di semua sendi kehidupan manusia, mulai dari lingkungan, kesehatan, sosial, dan ekonomi.
Salah satu efek negatif pertambangan batu bara pada lingkungan ialah memengaruhi perairan di permukaan atau bawah tanah. Aktivitas pertambangan yang menghasilkan banyak bahan kimia bisa meracuni perairan.
"Setelah ditambang, batu bara meninggalkan lubang-lubang tambang yang memiliki dampak lingkungan yang luar biasa. Banyak lubang tambang yang tergenang. Genangan air tersebut memiliki kadar keasaman yang tinggi dan memengaruhi ekosistem yang ada," paparnya saat dihubungi Warta Ekonomi, (14/12/2021).
Ia pun mencontohkan kejadian di Karimunjawa. Batu bara di sana menghantam terumbu karang akibat transportasi kapal tongkang batu bara. Dari ketiga lokasi yang diteliti Greenpeace, diketahui tutupan karang mati cukup luas. Tutupan karang mati terluas terdapat di Pulau Tengah, sebesar 59,7% dari total luas yang diteliti. Sedangkan, tutupan karang mati di Legon Bajak mencapai 47,2%, dan tutupan karang mati di Pulau Cilik sebesar 22%. Padahal terumbu karang di laut punya fungsi ekologi yang penting.
Penggunaan bahan peledak serta aktivitas lain dalam proses pertambangan juga bisa menyebabkan erosi, menghapus keanekaragaman tumbuhan dan hewan yang kehilangan habitat, serta transfer racun di rantai makanan.
Conserve Energy Future dalam artikel bertajuk Causes and Effects of Mining on Human Health and the Environment, yang dilansir (13/12/2021), menjelaskan bahwa sebuah studi menunjukkan efek jangka panjang pertambangan batu bara ialah gangguan pernapasan pneumokoniosis, asbestosis, dan silikosis.
Dijelaskan lebih detail bahwa tambang batu bara menghasilkan banyak debu yang jika terhirup dapat menyebabkan flek hitam di paru-paru para pekerja atau orang lain yang tinggal di wilayah sekitar.
Peledakan dan pengeboran dalam proses pertambangan juga menghasilkan mineral halus pada debu yang bisa terhirup dan menumpuk di paru-paru sehingga jadi penyebab pneumokoniosis. Saat penambang menghirup kuarsa atau kristal silika dalam jumlah berlebihan, kemungkinan besar akan menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan yakni silikosis.
Riset berjudul Ancaman Maut PLTU Batubara yang dirilis Universitas Harvard dan Greenpeace Asia Tenggara tahun 2015 mengungkapkan, operasi PLTU batu bara di Indonesia menyebabkan kematian dini 6.500 jiwa per tahun. Angka ini dari penelitian 42 PLTU di Indonesia.
Indonesia sendiri mencanangkan tambahan pembangkit batubara sekitar 22.000 MW—bagian proyek 35.000 MW—kalau jalan, prediksi kematian dini di Indonesia, melonjak jadi 15.700 jiwa per tahun atau 21.000-an dengan negara tetangga.
Kematian dini itu antara lain karena 2.700 jiwa kena stroke, 300 kanker paru-paru, 2.300 jantung insemik, 400 paru obstuktif kronik, dan 800 orang lain terkena penyakit pernafasan dan kardiovaskular.
Melalui artikel The Harvard College Global Health Review (HCGHR), Dr Michael Hendryx, peneliti dari West Virginia University, bilang, pekerja dan masyarakat yang berada dekat pertambangan batu bara terganggu risiko kematian lebih tinggi akibat penyakit jantung, pernapasan, dan ginjal kronis.
Greenpeace juga telah memberi peringatan melalui laporan Pembunuhan Senyap di Jakarta, bahwa emisi dari PLTU baik yang telah beroperasi maupun yang direncanakan akan meningkatkan risiko kesehatan pada seluruh penduduk Jabodetabek–termasuk di antaranya 7,8 juta anak-anak–menyebabkan mereka terpapar oleh PM2.5 yang jauh di atas standar WHO.
"Dampak kesehatan dari polusi ini diproyeksikan akan menyebabkan 10.600 kematian dini dan 2.800 kelahiran dengan berat lahir yang rendah per tahunnya di mana hampir setengah dari dampak ini berada di Jabodetabek," bunyi laporan tersebut.
Sektor batu bara sebetulnya menyumbang hanya 4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dengan prospek pertumbuhan di masa depan yang lebih terbatas. Eksplotasi batu bara yang masif ini harus dibayar dengan biaya besar terhadap ekonomi nasional, sektor-sektor ekonomi lainnya, serta mata pencaharian penduduk Indonesia di daerah-daerah terkena dampak.
"Dampak kesehatan sendiri, beban biaya yang harus dikeluarkan dari permasalahan udara tidak sedikit. Jika diakumulasikan, akan menjadi beban ekonomi tersendiri bagi negara. Bahkan jika dihitung dari permasalahan lingkungan, sosial, kesehatan, maka nilai eksternalitas yang dihasilkan dari batu bara akan sangat tinggi," pungkasnya.
Klaim Perbankan
Bank Mandiri merupakan bank yang paling banyak mengalirkan uangnya ke proyek energi kotor. Meski begitu, bank BUMN ini mengklaim ada 23% dari total portofolio kreditnya yang disalurkan ke sektor pada lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Selain itu dari 90% jumlah kredit ke ESG juga sudah bersertifikat Internasional Sustainable Palm Oil (ISPO).
"Bank Mandiri sebagai agent of development terus berupaya mendukung implementasi pengembangan berkelanjutan yang fokus pada lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG)," ungkap Corporate Secretary Bank Mandiri Rudi As Aturridha kepada Warta Ekonomi, (4/12/2021).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rosmayanti
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: