Kasus Penganiayaan Kucing di Bekasi, Restorative Justice Tak Hilangkan Kesalahan Pidana
Kasus penganiayaan kucing di Bekasi yang dilakukan oleh terdakwa Hasudungan Rumapea alas Oskar (62) telah sampai pada pembacaan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bekasi. Dalam tuntutan yang dibacakan, pihak JPU meminta majelis hakim untuk menjatuhkan hukuman lima bulan penjara terhadap terdakwa yang terbukti telah melakukan pemukulan terhadap kucing menggunakan gagang sapu hingga mati. Merespon tuntutan tersebut, pihak kuasa hukum terdakwa merasa keberatan lantaran antara pemilik kucing dengan sang klien telah sepakat untuk berdamai. Dengan tetap menuntut dijatuhkannya hukuman, pihak JPU dianggap tidak mengindahkan Peraturan Jaksa Agung (Perjag) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Restorative Justice.
Terkait keberatan yang disampaikan oleh pihak terdakwa tersebut, Pakar Hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar, mengingatkan bahwa adanya restorative justice tidak kemudian serta-merta menghilangkan kesalahan pidana yang telah diperbuat. Menurut pria yang akrab disapa Fickar ini, adanya restorative justice hanya lebih pada menyelesaikan persoalan kerugian yang timbul dari adanya tindakan pidana oleh sang pelaku. “(Meski sudah ada restorative justice) Hukuman pidana atas kesalahan masih tetap ada. Tidak hilang. Hanya saja pemberatan (hukuman) dari segi kerugiannya sudah hilang. Jadi, jika pihak yang dirugikan sudah memaafkan dan kerugian yang timbul sudah diselesaikan, maka akan mengurangi masa hukumannya,” tutur Fickar.
Sementara itu, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar, menyatakan bahwa restorative justice di Kejaksaan Agung dilakukan sebelum pelimpahan perkara ke persidangan. Karena kasus ini kini telah masuk di level persidangan, maka yang bisa dilakukan hanyalah menunggu pembuktian di persidangan dan keputusan hakim untuk kasus tersebut. “Selain itu kan kasus ini juga telah dianggap memenuhi rumusan delik oleh penuntut umum, jadi solusinya ya tingga menunggu (hasil) pembuktian dan keputusan hakim di pengadilan saja,” ujar Fatahillah.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, terungkapnya kasus penganiayaan kucing ini bermula dari beredarnya rekaman CCTV yang menangkap detik-detik pelaku memukul seekor kucing pada 5 Februari 2020 lalu. Melalui video yang viral di media sosial itu, awalnya pelaku datang menghampiri kucing yang tengah berada di pinggir jalan lingkungan perumahan dan lalu mengambil gagang sapu kemudian memukulnya sekali. Pihak pemilik kucing yang geram usai melihat rekaman CCTV lalu menyebarkan video pemukulan tersebut pada 13 Februari 2020. Begitu viral, Animal Defenders Indonesia (ADI) merespons dengan melaporkan kejadian tersebut ke polisi. Usai bertemu dengan pelaku, pihak ADI menyebut bahwa aksi pemukulan dilakukan lantaran pelaku kesal pot bunganya dikotori dengan kotoran kucing. Sementara, pengakuan warga sekitar menyebut bahwa pelaku juga kerap meracuni kucing-kucing sekitar, namun tidak ada yang melapor ke pihak kepolisian lantaran sosok pelaku dikenal sebagai orang yang ditakuti oleh warga sekitar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Taufan Sukma
Editor: Taufan Sukma
Tag Terkait: