Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Duh... Beda Pandangan Firli Bahuri dengan Pimpinan KPK Lainnya Soal Biaya Politik dan Korupsi

Duh... Beda Pandangan Firli Bahuri dengan Pimpinan KPK Lainnya Soal Biaya Politik dan Korupsi Kredit Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Warta Ekonomi, Jakarta -

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango sepakat bahwa tingginya bIiaya pemilu menjadi salah satu faktor pendorong kepala daerah untuk melakukan pidana rasuah. Pendapat serupa sempat diungkapkan Ketua KPK, Firli Bahuri.

Kendati, pendapat Nawawi berbeda dengan Firli Bahuri. Nawawi mengatakan, korupsi yang terjadi akibat tingginya biaya politik bukan berarti harus meniadakan Presidential Threshold (PT) atau ambang batas presiden.

"Bagi saya sendiri, mungkin yang lebih 'pas' ditelaah dan bersinggungan dengan isu pemberantasan korupsi yang memang menjadi tupoksi KPK, bukan soal 'presidential threshold' tapi kepada sistem penyelenggaraan pemilu," kata Nawawi Pomolango di Jakarta, Kamis (16/12).

Dia mengatakan, pilkada, pilpres dan pileg yang berbiaya tinggi dan memang menjadi sumber potensi perilaku korup. Dia melanjutkan, materi tersebut yang mungkin KPK bisa ikut berperan melakukan kajian-kajian dan selanjutnya merekomendasikan kajian tersebut kepada Pemerintah dan DPR.

Meski demikian, dia mengaku, menghormati pendapat yang dilontarkan Firli Bahuri. Dia mengatakan, bahwa hal tersebut merupakan argumen pribadi dan bentuk kebebasan berpendapat setiap warga negara.

Baca Juga: Zainal Arifin Mochtar Blak-blakan: Presidential Threshold Membingungkan!

"Omongan Pak Firli itu merupakan pendapat atau argumen yang bersangkutan pribadi, bukan merupakan hasil kajian kelembagaan KPK. Kami menghormati cara pandang pribadi tersebut sebagai bagian hak berpendapat setiap warga negara," katanya.

Seperti diketahui, Firli Bahuri menjelaskan alasan dikemukakannya PT 0 Persen. Menurutnya, PT merupakan salah satu faktor pendorong hasrat korupsi yang membabi buta bagi seluruh pejabat politik.

"Pendapat saya terkait PT 0 persen adalah semata-mata untuk tujuan penanganan potensi dan pemberantasan korupsi yang maksimal karena itulah konsentrasi KPK," jelas Firli Bahuri.

Mantan deputi penindakan KPK itu mengungkapkan bahwa PT menjadi perhatian lembaga antirasuah setelah mengkaji penyebab korupsi kepala daerah. Dia mengatakan, KPK menyerap informasi dan keluhan langsung dari legislatif dan eksekutif daerah yang mengeluhkan mahalnya biaya pilkada sehingga membutuhkan modal besar.

Firli mengatakan, modal besar tersebut sangat berpotensi membuat seseorang melakukan tindak pidana korupsi, karena setelah menang akan ada misi "balik modal". Dia mengungkapkan, fakta data KPK terakhir mendapati 82,3 persen calon kepala daerah menyatakan adanya donator dalam pendanaan pilkada mereka sehingga ditemukan banyak bentuk balas budi pada para penyumbang.

Dia mengatakan, sebesar 95,4 persen balas budi pada donatur akan berbentuk meminta kemudahan perizinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan. Atau 90,7 persen dari mereka meminta kemudahan untuk ikut serta dalam tender proyek pemerintahan dalam hal pengadaan barang dan jasa.

Biaya politik rendah

Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga menanggapi terkait Ketua KPK Firli Bahuri yang menginginkan Presidential Threshold (PT) menjadi nol persen. Menurutnya, jika PT menjadi nol persen, nantinya biaya politik bisa menjadi rendah.

"Kalau memang PT menjadi nol persen maka nanti cost atau biaya politik menjadi rendah. Setidaknya mahar untuk menjadi capres dan cawapres dapat ditekan seminimal mungkin," katanya kepada Republika.

Baca Juga: Sorotan Tajam Nicho Silalahi Terhadap Profesor yang Dianggap Sebar Hoax: Sudah Selayaknya Gelarmu…

Menurut dia, partai politik (Parpol) yang memiliki suara besar mantinya tidak akan lagi semena-mena menetapkan mahar politik. Sebab, parpol lain juga berhak mengusung calon, sehingga capres dan cawapres bisa beralih ke Parpol lain.

Karenanya, ucap dia, bila cost politik capres dan cawapres rendah, maka akan berimplikasi pada menurunnya perilaku koruptif jika mereka nantinya terpilih. Mereka tidak lagi berpikir untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkannya atau mengembalikan kesepakatan dengan pihak sponsor.

"Jadi, perilaku koruptif diharapkan dapat ditekan. Hal ini tentu akan meringankan beban KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya," kata dia.

Selain itu, PT nol persen mengembalikan pelaksanaan pilpres di Indonesia pada prinsif demokrasi. Disini berlaku, variasi pemilih akan diikuti variasi yang akan dipilih. Dengan PT nol persen, diharapkan akan semakin banyak pasangan capres dan cawapres yang ikut dalam kontestasi pilpres 2024. Banyaknya pasangan capres dan cawapres diharapkan semakin mendekati heterogenitas pemilih Indonesia.

"Kalau hal itu dapat diwujudkan, maka pasangan capres dan cawapres yang dipaksakan oleh Parpol dan para oligarki akan sulit memenangkan kontestasi Pilpres. Mereka akan dikalahkan pasangan lain yang lebih berkualitas dan berintegritas yang disodorkan Parpol lain," kata dia.

Dan dampaknya, tentu akan memaksa setiap Parpol mengusung pasangan capres dan cawapres yang berkualitas dan berintegritas. "Pasangan calon inilah yang diharapkan akan dipilih para pemilih, sehingga siapa pun yang terpilih pastilah pasangan yang berkualitas dan berintegritas," tutur dia.

PT berpeluang dikabulkan

Lembaga Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif mengungkapkan peluang judicial review terhadap ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Apalagi, MK baru-baru ini mengabulkan uji materil mengenai UU Cipta Kerja.

Peneliti KoDe Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana mengatakan, MK pastinya meninjau berbagai aspek sebelum memutuskan nasib penerapan presidential threshold. Dia menduga, salah satu hal yang jadi pertimbangkan ialah tak adanya Presiden Pejawat di Pilpres 2024.

"Potensi dikabulkan bisa saja, mengingat ada batu uji yang baru dan potensi kontestasi di Pemilu 2024 tidak ada petahana yang akan maju," kata Ihsan kepada Republika, Kamis (16/12).

Ihsan menyinggung, MK yang mengabulkan uji materil UU Cipta Kerja. Keputusan MK tersebut seolah menjadi angin segar bagi mereka yang melakukan uji materil terhadap Presidential Threshold.

"Selain itu, MK juga belakangan kerap mengubah pendiriannya di dalam putusannya. Dikabulkannya uji materil Presidential Threshold bisa saja terjadi," ujar Ihsan.

Baca Juga: Anies Lagi Anies Terus… Anies Baswedan Disorot Soal Upah Buruh, Musni Umar Bersuara: Salah Alamat!

Selain itu, jika aturan ambang batas ini disetujui MK untuk dibatalkan atau diubah, maka akan menghadirkan perubahan besar dalam peta politik nasional. Pertama, koalisi kepartaian yang akan sangat berubah dimana partai-partai kecil dan partai baru memiliki peluang dan ruang yang sama untuk mengajukan calon presiden.

"Kedua, kandidasi capres dan cawapres akan jauh lebih beragam dibandingkan dengan adanya Presidential Threshold," ucap Ihsan.

Sebelumnya, dua anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Bustami Zainuddin dan Fachrul Razi mengajukan judicial review Presidential Threshold dalam UU Pemilu ke MK pada Jumat (10/12). Keduanya yang didampingi pengacara Refly Harun, menginginkan ambang batas jadi nol persen.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Bayu Muhardianto

Bagikan Artikel: