Pasar Keuangan Global Dinilai Masih Hadapi Ketidakpastian di 2022, Ketua Banggar DPR Sarankan Ini
Kondisi pandemi Covid-19 yang masih menghantam sejumlah negara dan ketidakpastian dari bank sentral negara maju dalam menerapkan kebijakan tapering-off membuat pasar keuangan global pada tahun 2022 diperkirakan masih akan dibayangi ketidakpastia.
"Pasar keuangan global kemungkinan besar masih akan menghadapi ketidakpastian. Pangkal masalahnya, karena pandemi Covid-19 masih akan berlanjut di sejumlah negara dan adanya ketidakpastian sejumlah bank sentral negara maju dalam menjalankan kebijakan tapering off, khususnya The Fed," kata Ketua Badan Anggaran DPR, MH Said Abdullah, di Jakarta, Kamis (30/12/2021).
Ia mengemukakan bahwa krisis keuangan yang menimpa perusahaan properti terbesar di China, Evergrande juga diantisipasi potensi dampak negatifnya terhadap perekonomian Indonesia.
"Keadaan-keadaan itu akan menghantam berbagai lembaga keuangan. Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) harus antisipatif terkait kemungkinan terjadinya dana keluar, yang bisa memberi dampak tekanan besar terhadap nilai tukar rupiah," terangnya.
Baca Juga: Tren Pemulihan Ekonomi Nasional Berlanjut, PII Optimis Sambut Tahun 2022
Said menilai Indonesia juga perlu mewaspadai potensi meluasnya varian Omicron yang sudah terjadi di sejumlah negara dan telah mengoreksi pertumbuhan ekonomi di beberapa negara. Eropan Center for Desease Prevention and Control (ECD) telah mengingatkan sejumlah otoritas di Eropa bahwa varian omicron akan menyebabkan tingkat infeksi yang tinggi secara dominan di Eropa.
"Kita di pengujung tahun ini juga sudah kebobolan akibat adanya sejumlah kedatangan orang dari luar negeri. Kita harus disiplin melakukan pengendalian kedatangan dari luar negeri. Jangan sampai terjadi berbagai tindakan memalukan, seperti kabur dari karantina dengan menyuap petugas, atas nama pangkat dan kedudukan," ucapnya.
Menurut Said, apabila harga komoditas khususnya minyak bumi dan gas terus bergerak naik di 2022, tentunya memiliki konsekuensi terhadap membesarnya kebutuhan subsidi energi. "Pemerintah harus segera melakukan reformasi subsidi energi paling lambat tahun depan, agar plafon subsidi energi di 2022 sebesar Rp134 triliun tidak membengkak," ucap Said.
Hal yang juga perlu diwaspadai di 2022, menurut Said, adalah potensi peningkatan angka kemiskinan akibat pandemi Covid-19. "Saya memperkirakan tingkat kemiskinan di akhir 2021 sebesar 10,25 persen. Saya berharap pemerintah bisa mencapai penurunan tingkat kemiskinan sesuai target APBN 2022 di kisaran 8,5-9 persen," katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, kondisi pandemi Covid-19 berpotensi menciptakan stagflasi dan supply chain disruption. "Pemerintah perlu memitigasi suplai komoditas kita yang berasal dari luar negeri dan perlu menyiapkan antisipasinya bila sewaktu-waktu terjadi ketersendatan pasokan suplai komoditas utama di dalam negeri," ujar Said.
Baca Juga: OJK Serius Dukung Ekonomi Hijau Lewat Sektor Keuangan, ini Buktinya
Said menambahkan, penerapan kebijakan ekonomi hijau harus dilakukan pemerintah secara intensif pada tahun depan, agar bisa mendorong transformasi ekonomi menuju pembangunan yang rendah emisi dan ramah lingkungan.
Pada tahun depan, kata dia, beban bunga dan pokok utang berpotensi terus meningkat, sehingga akan menjadi beban fiskal. Tren kenaikan Debt Service Ratio (DSR) terjadi secara konsisten sejak 2013. Pada 2020, DSR Indonesia sebesar 46,76 persen, sedangkan pada tahun ini diproyeksikan mencapai 48 persen dan pada 2022 diperkiraan sebesar 49 persen.
"Tekanan beban bunga dan pokok utang pemerintah ini harus dimitigasi dengan upaya penurunan tingkat bunga utang kita, keragamaan sumber pembiayaan, serta dukungan investasi dan meningkatkan tingkat pendapatan negara," tegas Said.
Terkait dengan meluasnya penggunaan mata uang kripto sebagai alternatif pembayaran digital dan investasi, ungkap Said, kondisi ini harus segera diantisipasi oleh Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan.
"Saat ini kita masih memberlakukan rupiah sebagai alat pembayaran yang sah berdasar UU Mata Uang. Bank Indonesia sebagai otoritas pembayaran harus mempersiapkan antisipasi bila uang kripto semakin merongrong kewibawaan rupiah. Penegasan ini untuk memastikan bahwa rupiah defakto maupun dejure masih dijalankan," kata Said.
Baca Juga: Indonesia Perlu Regulasi Pendukung Data, CIPS: Agar Tak Hambat Ekonomi Digital ASEAN
Setidaknya, lanjut dia, BI harus memastikan kesiapan rupiah digital sebagai alat pembayaran. Sedangkan, OJK dan Bappebti wajib meningkatkan literasi keuangan kepada masyarakat terkait keberadaan uang kripto, sehingga masyarakat tidak menjadi korban lanjutan pasca menjamurnya kasus pinjaman online.
Said menyebutkan, pergerakan sektor riil di Kuartal IV-2021 telah memicu optimisme terhadap perbaikan pertumbuhan ekonomi di 2021 yang diperkirakan bisa mencapai 4 persen. " Prestasi ini menjadi modal yang baik untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,5 persen di tahun depan," imbuhnya.
Menurut dia, pencapaian kinerja positif juga mampu diraih pemerintah di sepanjang 2021. "Saya memperkirakan defisit APBN kita sekitar 5,3 persen PDB, capaian yang lebih baik dari patokan APBN di angka 5,7 persen PDB. Dampak ikutannya juga akan mengurangi porsi pembiayaan, khususnya pembiayaan utang," tutup Said.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: