Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Refly Harun: Contoh Efek Presidential Threshold Itu seperti Ferdinandisme dan Baharisme

Refly Harun: Contoh Efek Presidential Threshold Itu seperti Ferdinandisme dan Baharisme Kredit Foto: Instagram/Refly Harun
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyebut salah satu contoh dampak dari ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang terjadi saat ini adalah adanya gejala Ferdinandisme dan Baharisme.

"Implikasi [PT] yang sudah kita rasakan yang bisa dibahasakan hari ini adalah adanya gejala Ferdinandisme dan Baharisme, kan kira-kira begitu dampak dari presidential threshold itu," ujar Refly dalam diskusi Gelora Talk bertema "Menakar Reformasi Sistem Politik Indonesia: Apakah Mungkin Jadi Gelombang?", Rabu (5/1/2022).

Baca Juga: Karena Hal Ini Wacana Presidential Threshold 0 Persen Tak Ideal di Indonesia

Ia berpendapat, presidential threshold perlu dihapus agar dapat memberikan kesempatan yang terbuka atas posisi calon presiden dan calon wakil presiden. "Saya ingin melihat ke depan adalah perdebatan bermutu yang bisa dinikmati oleh rakyat dan masyarakat akan memilih dari orang-orang berkualitas untuk memimpin Indonesia ke depan," katanya.

Terlebih, Refly menilai argumentasi yang diberikan Mahkamah Konstitusi (MK) atas penolakan terhadap gugatan PT selama ini kurang komprehensif. Berdasarkan tinjauannya, selama ini MK hanya memberikan tiga argumentasi, yaitu PT disebut memperkuat sistem pemerintahan presidensial, open legal policy, dan tata cara pengaturan lebih lanjut untuk pemilihan presiden dan wakil presiden diatur oleh Undang-Undang.

"Terhadap tiga hal tersebut, itu bisa dibantah dengan mudah," ungkapnya.

Terkait penguatan sistem pemerintahan presidensial, Refly berargumen penafsiran MK terhadap penguatan sistem pemerintahan presidensial tidak berlandaskan pada ketentuan konstitusi yang sudah expressive verbis. Menurutnya, desain konstitusional yang sudah ada justru sangat kuat.

"Dalam penafsiran konstitusi, kita tidak boleh ke mana-mana dulu kalau ada teks asli. Desain konstitusionalnya saya katakan justru sangat-sangat kuat sehingga, menurut saya, unjustified untuk mengaitkan penguatan sistem pemerintahan presidensial dengan presidential threshold," jelasnya.

Kemudian, mengenai open legal policy, ia menyatakan argumen MK tidak benar atau ngawur. Pasalnya, hal-hal yang terkait dominasi pencalonan presiden dan wakil presiden seharusnya sudah selesai di konstitusi sehingga tidak bisa ditafsirkan secara lain dalam peraturan perundangan di bawahnya.

"Peraturan perundangan di bawahnya itu hanya bisa mengatur tata caranya. Tapi hal yang penting, seperti pembatasan threshold ini, tidak seharusnya diatur di Undang-Undang ketika konstitusi tidak mengatakan pembatasan threshold," papar Refly.

Sementara tentang tata cara yang dimandatkan UU, ia berargumen presidential threshold ini merupakan soal substantif dengan implikasi yang luas, bukan soal tata cara.

"Karena itu, menurut saya nanti kita harus fardhu 'ain untuk memperjuangkan [PT] ini di MK," tandasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: