Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Burhanuddin Muhtadin: Penerapan Presidential Threshold di Indonesia Beda dengan Negara Lain

Burhanuddin Muhtadin: Penerapan Presidential Threshold di Indonesia Beda dengan Negara Lain Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menyatakan, presidential threshold (PT) di Indonesia memiliki penerapan yang berbeda bila dibandingkan negara-negara lain.

"Kalau kita lihat konteks di negara lain, terus terang presidential threshold ini agak keluar dari bakunya. Kalau dalam sistem presidensial, yang disebut presidential threhshold itu bukan ambang batas pencalonan seperti yang kita pahami di Indonesia, tapi syarat kelayakan untuk dipilih," ujar Burhanuddin dalam diskusi Gelora Talk bertema "Menakar Reformasi Sistem Politik Indonesia: Apakah Mungkin Jadi Gelombang?", Rabu (5/1/2022).

Baca Juga: Refly Harun: Contoh Efek Presidential Threshold Itu seperti Ferdinandisme dan Baharisme

Burhanuddin menilai, syarat calon presiden perlu memenuhi 20% kursi di parlemen atau 25% suara sah secara nasional merupakan ketentuan yang aneh. Menurutnya, ketentuan tersebut membatasi orang untuk maju sebagai calon presiden, padahal konstitusi tidak membatasinya.

Ia mencontohkan di negara lain, Brasil dan Ekuador misalnya, syarat mengantongi suara 50% plus satu suara digunakan sebagai syarat memenangkan pemilihan presiden, bukan sebagai syarat untuk maju mencalonkan diri sebagai presiden.

"Tidak ada pembatasan yang seperti di Indonesia untuk maju sebagai calon presiden. Bahkan, di Amerika Serikat calon independen pun bisa maju sebagai calon presiden," tuturnya.

Kendati demikian, ia setuju terhadap kehadiran ambang batas partai politik untuk masuk ke parlemen (parliamentary threshold) dengan batas yang tidak terlalu tinggi. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari keterwakilan masyarakat yang rendah serta hilangnya partai berbasis agama sehingga berpotensi menimbulkan kerawanan politik.

"Jadi, presidential threshold perlu dihapus. Parliamentary threshold diperlukan, tapi jangan terlalu tinggi karena bisa mengurangi pluralisme politik," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: