Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Presidensi G20, Exit Strategy sebagai Pemulihan Ekonomi Negara Berkembang

Presidensi G20, Exit Strategy sebagai Pemulihan Ekonomi Negara Berkembang Kredit Foto: Fajar Sulaiman
Warta Ekonomi, Jakarta -

Salah Satu Agenda Prioritas G-20 adalah melihat bagaimana dampak dari exit strategy yang dilakukan negara maju terhadap arus modal dan pasar keuangan negara berkembang.

Exit strategy adalah rencana kontingensi yang dijalankan oleh investor, pedagang, pemodal ventura, atau pemilik bisnis untuk melikuidasi posisi dalam aset keuangan atau membuang aset bisnis berwujud setelah kriteria tertentu yang telah ditentukan untuk terpenuhi atau terlampaui.

Sebelumnya, Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo mengatakan dalam Seminar Internasional G20 bahwa Exit strategy (normalisasi kebijakan pasca-Quantitative Easing) harus dilakukan secara well calibrated, well communicated, dan well planned untuk menjaga stabilitas sehingga pemulihan ekonomi dapat tetap terjaga.

Baca Juga: Presidensi G20: Antisipasi Dampak Exit Strategy terhadap Aliran Modal Emerging Market

"Hal ini menjadikan exit strategy sebagai salah satu agenda prioritas Presidensi G20 dalam mewujudkan pemulihan bersama," ujarnya.

Sejalan dengan itu, Kepala Departemen Pengelolaan Devisa Bank Indonesia, Rudy B Hutabarat menyebutkan saat ini, negara-negara berkembang memiliki kondisi ekonomi dan keuangan yang lebih baik dibandingkan pada tahun 2013, dalam menghadapi normalisasi kebijakan moneter (exit strategy) oleh bank-bank sentral negara utama.

"Diskusi kebijakan antar negara terkait exit strategy perlu dilakukan dengan mempertimbangkan perbedaan kondisi dari berbagai negara khususnya dalam upaya memperkuat monitoring risiko global dan meminimalkan dampak negatif yang dapat ditimbulkan," jelasnya.

Rudy mengharapkan momen tahun ini bisa membuka wawasan terkait salah satu agenda penting G20, yakni upaya mensinkronkan divergensi kebijakan global (synchronize the unsynchronized world) dalam memastikan tercapainya tema G20 recover together and recover stronger.

Menjelaskan lebih lanjut, Head of Economics and Financial Markets for Asia and the Pacific Bank for International Settlements, Ilhyock Shim, dalam pemaparannya menyebutkan soal dampak exit strategy bank sentral negara ekonomi maju terhadap arus modal pasar negara berkembang dan peran otoritas negara berkembang atau bank sentral dalam mengelola stabilitas makroekonomi.

Menurutnya, dibandingkan dengan kondisi saat krisis Taper Tantrum pada 2013, sebagian besar negara berkembang di Asia sekarang memiliki fundamental dan kekuatan kelembagaan yang lebih baik.

"Hal ini akan membantu mereka (Negara Berkembang) mengatasi kondisi keuangan global yang semakin ketat menyusul adanya normalisasi kebijakan moneter negara maju," ujarnya dalam acara Presidensi G20 Annual Investment Forum 2022: International Seminar on Exit Strategy, Sabtu, (29/01).

Lebih lanjut, ia menyampaikan otoritas keuangan di negara berkembang juga secara umum telah melakukan pekerjaan yang baik untuk memastikan stabilitas keuangan domestik dan stabilitas eksternal melalui penerapan kebijakan moneter, makroprudensial, dan intervensi foreign exchange secara bersama-sama.

"Untuk menangani aliran modal dan volatilitas foreign exchange, penting bagi negara-negara maju untuk memantau perkembangan foreign exchange dan harga aset, tanda-tanda ketegangan di pendanaan dolar serta harga komoditas di tengah keluarnya kebijakan moneter negara ekonomi maju," imbuhnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Nuzulia Nur Rahma
Editor: Fajar Sulaiman

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: