Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

PSI Kecewa Wacana Korupsi di Bawah Rp50 Juta Tidak Dipidana: Kembalikan...

PSI Kecewa Wacana Korupsi di Bawah Rp50 Juta Tidak Dipidana: Kembalikan... Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi -

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) meminta Kejaksaan Agung tidak memberikan ruang dan toleransi terhadap tindak pidana korupsi, meskipun jumlahnya di bawah 50 juta rupiah.

"Bahkan sebagai wacana, PSI menentang ide tersebut karena merupakan bentuk pemakluman dan pemaafan (impunitas) terhadap tindak pidana korupsi," ujar juru bicara PSI, Ariyo Bimmo, dalam keterangan tertulis, Senin (31/1/2022).

Baca Juga: Aktif Berantas Korupsi, KPK Acungi Jempol Bank Jateng

PSI menilai penjelasan Kejaksaan Agung mengenai upaya untuk menghindarkan pemrosesan kasus maladministrasi sebagai kasus Tipikor juga bukan merupakan alasan yang tepat untuk mengambil kebijakan yang berlawanan dengan prinsip utama pemberantasan korupsi.

"Intinya, toleransi nol (zero tolerance) terhadap Tipikor. Bila yang dikhawatirkan aparat penegak hukum salah menerapkan hukum materil, yang diperlukan penguatan kapasitas, bukan toleransi terhadap deliknya," jelas Bimmo.

PSI menyesalkan wacana ini muncul justru ketika pemberantasan korupsi sedang dalam sorotan setelah beberapa kasus OTT dan vonis koruptor yang rendah. "Kembalikan dulu kepercayaan masyarakat kepada penegakan hukum. Padahal, masyarakat Indonesia makin tidak permisif terhadap korupsi skala kecil (petty corruption)," ujarnya.

"Menurut data BPS, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia terus meningkat dalam 2 tahun ini. Pada tahun 2021 sebesar 3,88 pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih tinggi dibandingkan capaian 2020 sebesar 3,84 dan 2019 sebesar 3,70," imbuh politisi yang juga pegiat reformasi hukum dan peradilan tersebut.

Kebijakan yang diambil lembaga penegak hukum seharusnya mencerminkan semangat antikorupsi yang berkembang di masyarakat. Demikian pula produk hukum yang dihasilkan. PSI meminta DPR tidak menyia-nyiakan momentum kebangkitan pemberantasan korupsi dengan menunda-nunda pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset.

"Permasalahan korupsi tidak akan selesai selama harta haram masih bebas berkeliaran dan menjadikan pidana kurungan terlihat ringan dijalani. Tidak ada alasan untuk menunda RUU yang naskah akademiknya sudah sangat baik disusun dari tahun 2012, kecuali bila DPR khawatir UU tersebut akan berdampak pada dirinya sendiri," lanjut Bimmo.

Adapun mengenai ketentuan siapa yang mengelola aset setelah dirampas, menurutnya, hanya satu bentuk pengalihan isu karena bagaimanapun ranahnya adalah kekuasaan eksekutif sehingga Presiden tinggal memutuskan.

"RUU Perampasan Aset dalam konteks kekinian seperti langkah catur melawan banyak kejahatan, bukan hanya tindak pidana korupsi. Karenanya, kami tidak heran bila ada fightback terutama dari pihak yang mengandalkan uang untuk berbuat jahat," ucapnya.

RUU Perampasan Aset akan memperkuat berbagai Undang-undang yang ada , termasuk UU Kejaksaan yang baru saja ditandatangani, terutama dalam hal aset-aset yang "tidak terkait" tindak pidana yang didakwakan.

"Diselipkan ketentuan Pengayaan Secara Tidak Sah (Illicit Enrichment) dan Beban Pembuktian Terbalik yang sering kali dilupakan orang. Ini ada di naskah akademiknya dan inilah yang bikin koruptor takut sebenarnya," jelas pengamat hukum lulusan Belanda ini.

PSI sepakat dengan pernyataan Presiden Jokowi bahwa pemberantasan korupsi harus mengobati akar masalah dan pencegahan merupakan langkah yang lebih fundamental. "Beliau sudah mengerti benar kerangka masalahnya. Geber LHKPN merupakan permulaan yang baik. UU Kejaksaan sebagai ancang-ancang, tapi gasnya harus melalui RUU Perampasan Aset," tandasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: