Pepes Nyale
Bagi sebagian orang nyale bukanlah sekadar cacing laut. Nyale merupakan hidangan yang istimewa bagi warga Lombok. Hasil tangkapan nyale itu acap mereka jadikan pepes nyale yang dibakar dengan daun pisang.
Nyale pepes seukuran 250 gram ini pun kerap dijual di tepi jalan Lombok seharga Rp35 ribu-Rp50 ribu dan tak pernah sepi peminat. Nyale juga bisa dijadikan bokosuwu, sejenis sambal pedas berbahan nyale mentah. Agar mengusir amis si cacing laut, sambal pedas ini ditabur perasan jeruk purut dan daun kemangi.
Tak hanya sambal, nyale juga diolah menjadi kuah santan nyale. Ada pula disangrai dengan campuran kelapa parut, bawang merah, bawang putih, jahe, daun kemangi, perasan jeruk limai dan cabai lombok. Kudapan nyale yang diolah dengan cara digoreng tanpa minyak tersebut namanya nyale pa’dongo.
Baca Juga: Sukseskan MotoGP Mandalika 2022, Kominfo Kawal Jaringan Telekomunikasi
Rupanya ia mengandung protein tinggi, hingga sebanyak 43,84 persen, mengalahkan telur ayam (12,2 persen) dan susu sapi (3,5 persen). Begitu juga kadar fosfor dalam nyale sebesar 1,17 persen masih cukup tinggi jika diadu dengan telur ayam (0,02 persen) atau susu sapi (0,10 persen).
Uniknya lagi, kandungan kalsium sebesar 1,06 persen pada tubuh nyale ternyata masih lebih tinggi dari kandungan kalsium susu sapi yang hanya 0,12 persen. Menurut Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Sri Purwaningsih, nyale juga berkhasiat sebagai antidiabet alami.
Di Tiongkok Selatan, ekstrak nyale bahkan telah lama digunakan sebagai obat tradisional untuk pengobatan penyakit tuberkulosis, pengaturan fungsi lambung dan limpa, serta pemulihan kesehatan yang disebabkan oleh patogen. Zat antibakteri pada nyale, terutama dari famili Eunicedae, memiliki daya hambat terhadap kuman patogen seperti Proteus vulgaris, Escherichia coli, Streptococcus pyogenes, dan Helicobacter pylori.
Air bekas cucian dan ekstrak nyale juga diyakini masyarakat Sasak dapat menyuburkan lahan pertanian mereka. Kemunculan nyale juga dijadikan pertanda bagi petani-petani Sasak akan berakhirnya musim hujan dan bersiap menuju musim kemarau. Artinya selama musim kemarau mereka tak lagi menanam padi hingga kembalinya bau nyale.
Baca Juga: Tinjau Vaksinasi di NTB, Kapolri Minta Forkopimda Kendalikan Laju Covid-19 untuk Sukseskan MotoGP
Dengan segala keunikannya ini Pemerintah Provinsi NTB telah mengemas tradisi unik masyarakat Sasak ini dalam sebuah agenda pariwisata tahunan. Ketika Festival Pesona Bau Nyale diadakan Dinas Pariwisata NTB di Pantai Seger pada 2019 atau setahun sebelum pandemi Covid-19 terjadi, sekitar 3.000 turis asing menyaksikan kegiatan yang berlangsung selama lima hari. Beragam aktivitas digelar, mulai dari lomba surfing membelah tingginya ombak di Pantai Mandalika dan bau nyale di Pantai Seger hingga pawai budaya Sasak di Praya, Lombok.
Pantai Seger sendiri masuk dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, satu di antara lima destinasi superprioritas pariwisata Indonesia selain Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur), Borobudur (Jawa Tengah), Likupang (Sulawesi Utara), dan Danau Toba (Sumatra Utara). Pada masa pandemi ini, bau nyale tetap berlangsung meski festivalnya diistirahatkan untuk sementara hingga berakhirnya pandemi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri