
Kenaikan cukai rokok sebesar 12,5 persen akhir tahun 2021 dinilai bukan untuk mengurangi prevalensi masyarakat merokok. Menaikan cukai rokok setinggi apapun tidak akan mengurangi jumlah anggota masyarakat merokok, jika tidak diikuti kesadaran masyarakat untuk berhenti merokok.
Sebab, merokok sampai saat ini masih menjadi budaya yang erat terutama di kalangan masyarakat sehingga masih susah untuk dihentikan hanya melalui program kenaikan cukai.
“Rokok dan masyarakat Indonesia sudah menjadi budaya yang sangat sulit dipisahkan. Apalagi tokoh tokoh masyarakat rata rata pada merokok. Maka, kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok, itu tidak akan membuat masyarakat berhenti merokok. Masyarakat tetap akan merokok, tetapi kalau rokonya mahal karena cukai rokoknya dinaikan, maka masyarakat akan beralih ke rokok lintingan atau rokok illegal,” papar Sosilog Universitas Air Langga yang kini menjadi dosen tetap di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Umar Solahudin, kepada pers kemarin di Jakarta.
Baca Juga: Kenaikan Cukai Rokok Yang Besar Mematikan IHT dan Merusak Pemulihan Ekonomi
Lebih lanjut Umar Solahudin menjelaskan, kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok adalah kebijakan yang menguntungkan pemerintah. Tidak ada Kaitannya dengan upaya menghentikan masyarakat merokok. Karena itu pemerintah harus bersikap adil. Jika pemerintah sudah mengambil keuntungan dari menaikan cukai rokok, maka pemerintah harusnya meningkatkan anggaran bagi perawatan kesehatan masyarakat yang merokok.
Mantan aktifis mahasiswa 1998 ini mengaku tidak setuju dengan kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok. Alasannya, selain tidak berpengaruh positif pada penurunan jumlah masyarakat merokok, lambat laun akan mematikan kesempatan kerja baik bagi buruh industri rokok maupun petani tembakau itu sendiri.
“Kecuali kalau pemerintah sudah siap dengan lapangan pekerjaan pengganti bagi jutaan tenaga kerja di sektor industri rokok dan mata pencaharian pengganti bagi petani tembakau. Dan tentu saja mencari pengganti lapangan pekerjaan dan mata pencaharian bagi petani tembakau itu bukan hal yang mudah. Apalagi di saat ekonomi mengalami krisis seperti saat ini,” papar ayah dua anak ini.
Pendapat senada disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Formasi (Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia) Ahmad Guntur. Menurut Ahmad Guntur, kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok sebesar 12,5 persen ini terlalu besar.
“Sekiranya pemerintah membutuhkan dana dari cukai rokok. Kenaikannya idealnya tidak lebih dari 8 persen,” papar Ahmad Guntur.
Baca Juga: CHT Naik Berturut-turut! IHT Legal Makin Meringis, Rokok Ilegal Makin Beringas
Sependapat dengan Umar Solahudin, dosen Universitas Negeri Jember Dr Fendy Setyawan. Menurutnya, mengalihkan mata pencaharian dari pertanian atau perkebunan tembakau ke sektor lain, bukan pilihan yang mudah bagi kalangan petani tembakau. Alasannya tidak semua lahan itu cocok untuk selain tembakau yang memiliki nilai ekonomi.
“Secara obyektif dari kaca mata akademisi sangat memahami sebuah kebutuhan pembiayaan di dalam pembangunan nasional ini dan cukai adalah salah satu sumber pembiayaan yang dinilai sangat strategis oleh pemerintah. Jadi pemerintah melakukan pendekatan dua aspek dalam konteks kenaikan cukai ini, aspek yang pertama sebagai instrument pengendalian, aspek kedua adalah dalam rangka untuk meningkatkan pendapatan negara, “
Meskipun kenaikan cukai menguntungkan pemerintah, karena mendapatkan tambahan dana untuk membiayai pembangunan, menurut Fendy Setyawan, kenaikan cukai rokok sebesar 12,5 persen justru menurunkan pendapatan masyarakat petani tembakau termasuk buruh rokok itu sendiri.
“implikasi dari adanya kenaikan cukai rokok ini justru akan menurunkan tingkat pendapatan masyarakat tembakau terutama di sektor petani, “papar Fendy Setyawan.
Ditegaskan Umar Solahudin, untuk mengurangi prevalensi masyarakat merokok, bukan dengan cara menaikan cukai rokok. Melaikan dengan membangun kesadaran masyarakat akan bahaya merokok. Jika kesadaran dalam diri masyarakat sudah timbul, masyarakat akan dengan mudah mengurangi bahkan menghentikan konsumsi rokoknya.
“Yang lebih penting lagi adalah penegakan hukum. Jika ada Kawasan dilarang merokok, maka hukum harus ditegakkan. Sehingga jika ada anggota masyarakat yang melanggar aturan, merokok di daerah Kawasan dilarang merokok, diberikan hukuman. Sehingga menimbulkan efek jera. Sekarang kan tidak, Ada Perda soal Kawasan tanpa rokok, tapi tidak dijalankan dengan baik,” papar Umar Solahudin.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News.
Penulis: Annisa Nurfitriyani
Editor: Annisa Nurfitriyani
Tag Terkait: