Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Krisis Ukraina-Rusia, Indonesia Siap Perang Dagang

Krisis Ukraina-Rusia, Indonesia Siap Perang Dagang Kredit Foto: Mochamad Ali Topan
Warta Ekonomi, Surabaya -

Direktur Operasi PT Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER), Didik Prasetiyono secara tegas mengatakan, krisis Ukraina-Rusia nampaknya mulai mengganggu perdangagan dunia termasuk Indonesia.

Untuk menyisiasati hal itu  Didik mengatakan, sudah saatnya perdagangan antar provinsi tidak perlu bersaing. Seharusnya kata Didik, semuanya harus berkolaborasi untuk membangkitkan perekonomian Indonesia menghadapi perang dagang akibat krisis Ukraina-Rusia. 

Baca Juga: Awas! Xi Jinping dan Jokowi Kejutkan Dunia di Tengah Perang Rusia-Ukraina

"Kita saat ini sudah tidak lagi bicara persaingan bisnis dengan provinsi A atau provinsi B, tapi sudah seharusnya bersaing dengan India, Thailand, Vietnam, Malaysia atau Taiwan. Persaingan dengan negara-negara lain itu bisa tercipta jika kita saling berkolaborasi," tegas Didik usai acara Business Forum dan Matchmaking antar Dunia Usaha yang diselenggarakan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP) Provinsi Jatim. 

Didik mengatakan, hingga saat ini ada 50 kawasan industri Indonesia berada di Pulau Jawa dengan total 26.127,40 hektare. Luas tersebut setara dengan 72 persen dari total luas kawasan industri seluruh Indonesia. 

Sementara pihaknya (PT SIER) mengelola hampir seribu hektar kawasan industri yang terletak di Surabaya, Sidoarjo dan Pasuruan. 

"Kita harus siap dengan sumber daya yang kita miliki untuk membangun kolaborasi, kita harus bersatu untuk memenangkan perang gaya baru ini yaitu perang dagang, bersama harus kita lindungi kepentingan ekonomi nasional kita," beber Didik. 

Ia menjelaskan,, ada sejumlah investor asing yang telah mengembangkan bisnisnya di SIER dan Pasuruan Industrial Estate Rembang (PIER). Seperti dari Australia, Belanda, Prancis, Jepang, Itali, Denmark, Jerman, Belgia, Malaysia, Swiss, Korea Selatan, Amerika Serikat, Taiwan, Singapura, Hongkong, Cina dan India mayoritas menginginkan iklim investasi yang sehat. 

Menurutnya, iklim investasi yang sehat harus didefinisikan sebagai kebijakan permudahan regulasi, ketegasan institusional termasuk menjaga kondusifitas keamanan investasi, dan kondisi lingkungan diantaranya kualitas sumber daya pekerja yang secara signifikan akan berpengaruh terhadap tingkat pengembalian investasi dan manajemen risiko yang dihadapi. 

Oleh karena itu, sebut pria yang mantan alumni Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga ini, mayoritas pelaku bisnis biasanya mengandalkan data untuk menentukan apa yang harus dilakukan dengan sumber daya bahan baku, pemasaran, dan alokasi sumber daya manusia mereka. Wawasan data yang tidak akurat dapat menyebabkan strategi bisnis yang salah, karena tidak menyajikan apa yang terjadi dalam kenyataan, menyebabkan para pemimpin membuat keputusan secara membabi buta.

"Ungkapan -bad data is leading to bad decision making-, adalah bentuk nyata kekhawatiran investor dalam menempatkan investasinya di suatu negara, nah disini peran pemerintah dalam menyajikan data yang valid dan sesungguhnya menjadi penting. Apalagi ini ada implikasi invasi Rusia ke Ukraina telah melahirkan pencarian keseimbangan baru ekonomi, krisis energi dan krisis bahan komoditi sudah terjadi di eropa dan mulai menjalar secara global," ungkapnya. 

Kondisi geopolitik ini, lanjut Didik menjadi pukulan khususnya ke industri yang memiliki ketergantungan pada minyak bumi, gas, batubara, alumunium, kobalt, tembaga, nikel, emas, titanium, baja, pupuk, gandum dan jagung. 

"Rusia dan Ukraina adalah pemain utama global level produsen dan sektor-sektor tersebut terimbas karena sanksi embargo dan pembatasan rantai pasok logistik. Kondisi ini bisa menjadi momen bagi Indonesia untuk masuk mengembangkan bisnis ke luar negeri," pungkas Didik.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Mochamad Ali Topan
Editor: Alfi Dinilhaq

Bagikan Artikel: