Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Fakta-fakta Capres Prancis Le Pen, Lahir dari Keluarga Rasis hingga Bandingkan Muslim dan Nazi

Fakta-fakta Capres Prancis Le Pen, Lahir dari Keluarga Rasis hingga Bandingkan Muslim dan Nazi Kredit Foto: Reuters/Albert Gea
Warta Ekonomi, Paris -

Pemilihan Presiden Prancis kembali melihat pertarungan sengit antara Emmanuel Macron dengan politikus sayap kanan, Marine Le Pen. Mirip dengan skenario lima tahun lalu, keduanya pun berhasil maju ke putaran kedua pada Minggu (24/4/2022).

Namun, lagi-lagi, dalam persaingan ketat keduanya, kebebasan beragama, khususnya bagi umat Islam yang berjumlah sekitar 8 persen dari populasi, telah muncul sebagai isu penting.

Baca Juga: Penuh Kontroversi, Capres Le Pen Sebut Hijab Cuma Seragam Islam, Bukan Tanda Keyakinan

Pada 2017 lalu, Le Pen memicu kontroversi, menyebut bakal melarang pemakaian jilbab bagi wanita muslim hingga pemotongan hewan halal, atau kosher bagi umat Yahudi. Dalam pemilihan kali ini, topik itu kembali disinggung, terutama ketidaksetujuan Le Pen terhadap pemakaian jilbab.

Baru-baru ini, Le Pen pun telah bersumpah untuk melarang pemakaian jilbab di depan umum jika dia terpilih dalam putaran kedua pemungutan suara Minggu depan. Dia mengatakan bahwa jilbab adalah 'seragam Islam', atau tanda kepatuhan terhadap interpretasi ekstremis anti-Barat dari keyakinan Muslim. Lalu siapa sebenarnya Le Pen, calon presiden (capres) Prancis yang dikenal anti-imigran ini, dan bagaimana sepak terjangnya dalam dunia politik?

Dilansir dari berbagai sumber, AKURAT.CO menghimpun 5 fakta kandidat presiden Prancis, Marine Le Pen.

1. Seorang pengacara dengan masa kecil politik yang keras

Lahir 5 Agustus 1968, Le Pen lulus dari Universitas Paris II-Assas pada tahun 1990 dengan gelar Magister Hukum. Dia memperoleh diploma pascasarjana untuk hukum pidana pada tahun 1991.

Pada tahun 1992, Le Pen disertifikasi untuk praktik hukum, dan dia bekerja sebagai pengacara di Paris dari tahun 1992-1998.

Namun, meski banyak bergelut dengan hukum, kehidupan Le Pen turut diwarnai politik sejak kecil. Sebelum menggantikan ayahnya sebagai pemimpin partai Front National (sekarang National Rally/Barisan Nasional), Le Pen pun sudah menyaksikan bagaimana ayahnya menjadi sasaran karena pandangannya kontroversialnya, yang kerap rasis hingga anti-Semit.

Oleh media arus utama, ayah Le Pen dijuluki 'Iblis Republik', dan ia telah memicu kemarahan karena pidato kebencian, termasuk penolakan Holocaust dan Islamofobia. 

Pada tahun 1976, ayah Le Pen, Jean-Marie Le Pen, menjadi sasaran serangan bom yang merusak gedung apartemen keluarga. Le Pen, yang masih berusia 8 tahun, dan keluarganya selamat dalam peristiwa itu. Namun, hingga kini, para pelaku pengeboman tidak pernah ditangkap. 

Menurut Britannica, insiden itu, dan teguran keras lainnya terhadap pandangan ayahnya akan menginformasikan politik Le Pen sendiri. Hingga pernah ia menggambarkan bagaimana nama belakangnya seperti sebuah beban, yang menghambatnya selama sekolah dan dalam karier profesionalnya sebagai pengacara.

2. Bergabung dengan partai ayahnya hingga ambisi 'Frenxit' 

Pada tahun 1998, Le Pen resmi bergabung dengan Barisan Nasional, yang didirikan ayahnya pada tahun 1972. Barisan Nasional sendiri merupakan oposisi sayap kanan utama terhadap partai konservatif arus utama Prancis. 

Setelah menjadi wakil presiden Barisan Nasional, Le Pen berhasil mencalonkan diri untuk kursi di Parlemen Eropa, di mana dia bergabung dengan ayahnya di kubu Non-Blok badan itu. 

Namun, jabatannya sebagai anggota Parlemen Eropa bukan tanpa kontroversi. Ia sendiri meski bergabung dengan lembaga tersebut, tetapi mengaku tidak mendukung keberadaan Uni Eropa.

Selama pemilihan presiden (pilpres) 2017 lalu, ia pun sempat memiliki agenda akan mengadakan referendum untuk mencabut keanggotaan Prancis di UE, seperti yang dilakukan Inggris pada tahun sebelumnya. Kemudian muncul istilah Frenxit (France exit/Prancis keluar)-sebagai perbandingan dari Brexit (British exit).

Karenanya dalam pilpres tahun ini, kekhawatiran akan masa depan Uni Eropa kembali muncul saat Le Pen berhasil melaju ke ronde final. Dalam pernyataan terbarunya, Le Pen menegaskan bahwa dia tidak memiliki agenda rahasia 'Frexit'.

Namun, para penentang mengklaim kebijakannya akan membahayakan posisi Prancis di UE. 

Tidak seperti Inggris, Prancis adalah anggota pendiri dari apa yang akhirnya menjadi UE dan sekarang menjadi pendukung keuangan terbesar kedua untuk lembaga itu.

Menurut BBC, Le Pen pun ingin memangkas kontribusi Prancis ke UE, memperketat kontrol perbatasan dan mengadakan referendum untuk menghentikan imigrasi yang 'tidak terkendali'.

Le Pen memang selama ini dikenal sebagai nasionalis yang anti-imigran. Partainya, yang pernah dipimpin, Barisan Nasional, juga dikenal sebagai partai yang anti-imigrasi; menganjurkan pemotongan signifikan terhadap imigrasi legal dan perlindungan identitas Prancis.

Pada 13 November 2015, serangan teroris mematikan di Paris menyebabkan 130 orang tewas dan lebih dari 350 terluka, dan Le Pen pun dengan sempat ikut menyalahkan kebijakan imigrasi sebagai akar dari teror.

3. Dituding melakukan penyalahgunaan dana UE 

Tuduhan Le Pen yang menyalahgunakan dana UE, berembus kencang sejak pilpres 2017 lalu. Tetapi saat itu, ia bisa menghindari pengadilan dengan menggunakan kekebalan yang diberikan kepadanya dengan berada di parlemen UE.

Hingga dalam pemilihan tahun ini, tuduhan itu kembali muncul, di mana laporan badan anti-penipuan UE menuding bahwa La Pen menyalahgunakan uang publik saat masih menjadi anggota Parlemen Eropa (MEP).

Laporan tersebut, menurut platform berita Prancis Mediapart, mengatakan bahwa Le Pen secara pribadi menyalahgunakan sekitar 137 ribu Euro (Rp2 miliar) uang publik dari Parlemen Eropa. Aksi itu, kata Badan Anti-Penipuan Eropa (OLAF), dilakukannya selama waktunya sebagai MEP antara 2004-2017.

Sebuah sumber mengatakan bahwa Parlemen Eropa telah merujuk kasus tersebut ke OLAF setelah mengungkap beberapa dugaan penyimpangan.

"Secara total, kita berbicara tentang 617 ribu euro (Rp9, miliar)yang dibayarkan secara salah. Kami sekarang akan melanjutkan pemulihan (uang) dari pihak yang berkepentingan dalam beberapa minggu mendatang," tambah sumber itu, dikutip dari Al Jazeera.

Kantor Le Pen belum memberikan komentar. Sementara jaksa Prancis mengatakan mereka sedang memeriksa laporan oleh OLAF.

4. Pernah diadili karena membandingkan muslim yang salat di jalan dengan 'pendudukan Nazi'

Le Pen, yang pernah 'nyalon' presiden tiga kali ini, juga setidaknya pernah mendapat teguran keras hingga diadili lantaran membandingkan muslim yang salat di jalan dengan 'pendudukan Nazi'.

"Bagi mereka yang ingin berbicara banyak tentang Perang Dunia II, jika ini tentang pendudukan, maka kita juga bisa membicarakannya (ibadah Muslim di jalan-jalan), karena itu adalah pendudukan wilayah ... Ini adalah pendudukan sebagian wilayah, distrik di mana hukum agama berlaku ... Tentu saja tidak ada tank, tidak ada tentara, tetapi bagaimanapun juga itu adalah pendudukan dan sangat membebani penduduk setempat," katanya.

Komentar itu dibuatnya pada tahun 2015, di mana Macron ikut menyinggung partai ayahnya, yang berpandangan ekstrem. Le Pen masih mewakili 'partai kebencian', kata Macron, merujuk pada ideologi Front National sebelum diubah menjadi Barisan Nasional.

François Baroin, juru bicara pemerintah, juga telah menolak provokasi dan kebenciannya yang dilontarkan Le Pen. Dewan Perwakilan Lembaga Yahudi Prancis (CRIF); Dewan Iman Muslim Prancis (CFCM); hingga Liga Internasional Menentang Rasisme dan Anti-Semitisme (LICRA) ikut mengutuk pernyataannya.

Akhirnya pada Desember 2015, pengadilan Lyon membebaskan Le Pen dari dakwaan 'menghasut kebencian"'. Pengadilan saat itu, memutuskan bahwa pernyataannya 'tidak menargetkan semua komunitas Muslim' dan komentarnya dilindungi 'sebagai bagian dari kebebasan berekspresi'.

5. Dikenal pendukung Kremlin dan Vladimir Putin

Sudah bukan rahasia umum lagi jika Le Pen dikenal sebagai pendukung Kremlin dan pemimpinnya, Vladimir Putin. Bahkan saat Eropa ketar-ketir dengan peningkatan pasukan Rusia di perbatasan, Le Pen pada Februari, terang-terangan mengatakan bahwa dia tidak percaya kalau Rusia ingin menyerang Ukraina.

Pernyataan itu pun disayangkan para kritikus yang menuduhnya terlalu dekat dengan Moscow. Terlebih, hanya dua minggu usai membuat komentar itu, Putin benar-benar mengerahkan pasukannya, dan sejak itu, pengeboman mewarnai kota-kota Ukraina. Sementara banyak laporan pasukan Rusia melakukan kejahatan perang, termasuk membantai hingga memperkosa warga sipil.

Le Pen pun kemudian membela diri, mengatakan bahwa sikapnya terhadap Moscow hanya bertujuan 'untuk kepentingan Prancis'.

Namun, jauh sebelum invasi, kandidat dari sayap kanan itu telah secara terbuka menyatakan kekagumannya pada Putin dan mitranya mantan Presiden AS, Donald Trump. Ia juga secara konsisten membela kebijakan luar negeri Moskow, termasuk  membenarkan aneksasi Rusia atas Krimea.

Pada tahun 2017 misalnya, Le Pen, yang kala itu nyapres, mengejutkan banyak pihak karena bertemu dengan Putin di Moskow. Pertemuan keduanya itu pun sempat menghidupkan kembali kekhawatiran akan dukungan Rusia untuk kelompok sayap kanan di Eropa.

Dalam sebuah wawancara dengan BBC, Le Pen mengikat warna politiknya dengan kuat ke tiang, mengutip sebagai inspirasinya, Trump yang baru terpilih serta pemimpin Rusia.

"Garis politik besar yang saya perjuangkan adalah garis besar yang diperjuangkan oleh Trump, yang diperjuangkan oleh Putin," katanya.

Itulah sejumlah fakta menarik hingga kontroversi Marine Le Pen. Bagaimana menurutmu capres Prancis ini? Akankah dia berhasil menekuk Macron dan menggantikan posisinya sebagai Presiden Prancis berikutnya?

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: