Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pengamat Menilai Tak Ada Alasan Aturan Kekarantinaan Harus Sertakan RIPH

Pengamat Menilai Tak Ada Alasan Aturan Kekarantinaan Harus Sertakan RIPH Pedagang menimbang bawang putih yang dijual di Pasar Keputran, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (14/6/2019). Kementerian Perdagangan telah menerbitkan Persetujuan Impor bawang putih dengan total mencapai 256 ribu ton untuk periode tahun 2019. | Kredit Foto: Antara/Zabur Karuru
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pengamat hukum Rizky Ihsan berharap Kementerian Pertanian (Kementan) tidak salah mengambil sikap terkait Rancangan Permentan tentang pengawasan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Rizky melihat ada indikasi mengenai kesalahan sikap dalam pembuatan rapermentan tersebut. 

Pasalnya, dilihat dari segi internal Rapermentan ini mengandung dua masalah: pertama, soal esensi pengawasan RIPH dan kedua soal aturan memasukkan RIPH dalam aturan karantina. Salah satu ketentuan dalam rancangan regulasi mengenai karantina yang dimaksud adalah keharusan menyertakan surat RIPH. Pasalnya menurut Rizky, antara RIPH dan Karantina adalah dua ranah yang berbeda.

“Pertama, soal Namanya, yaitu pengawasan RIPH. Selama ini RIPH adalah instrument untuk mengatur importasi produk hortikultura dengan tujuan agar produk dalam negeri terlindungi dari serbuan produk impor. Ini kan kalau kita jujur adalah semacam trade barrier non tariff. Nah, dalam UU Ciptakerja tidak ada lagi aturan penggunaan RIPH lagi sebagai syarat untuk impor. Di Permendag 20/2021 juga disebut demikian Jadi apanya yang mau diawasi?” kata Rizky dikutip dari Antara.

Menurutnya pengawasan terhadap sesuatu dilakukan ketika sesuatu itu digunakan dalam praktik sebuah tindakan atau kegiatan hukum.

RIPH adalah semacam rekomendasi teknis yang dulu dimasukkan sebagai syarat untuk mendapatkan Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kemendag. Berdasarkan aturan baru, tidak ada lagi syarat RIPH tersebut. Jadi menurut Rizky, penamaan Rapermentan soal pengawasan RIPH itu sendiri patut dipertanyakan.

Masalah kedua menurut Rizky adalah ketentuan karantina yang memasukkan RIPH sebagai syarat pemeriksaan.

"Original intens keduanya berbeda. Ini penting sebagai bentuk tertib perundang-undangan agar aturan yang baru tidak membuat kerumitan baru yang menyusahkan masyarakat.” Kata Rizky.

Di satu sisi, menurut Rizky. RIPH adalah ketentuan yang ditujukan untuk menjaga neraca komoditas hortikultura sehingga produk dalam negeri terlindungi ketika harus bersaing dengan produk impor.

Sedangkan aturan karantina itu tujuannya melindungi kemungkinan masuknya suatu zat, mikroorganisme, penyakit yang bisa membahayakan baik terhadap manusia maupun flora dan fauna yang ada di Indonesia. Jadi keduanya punya ranah yang sangat berbeda.” Papar Rizky. 

Karena itu Rizky menilai sangat tidak beralasan kalau aturan kekarantinaan ada keharusan menyertakan RIPH.

Beberapa pihak menduga ada keengganan dari beberapa pihak di Kementan untuk menghilangkan sepenuhnya RIPH. Sejak diterbitkan aturan baru tentang importasi, Kementan terus berusaha mencari jalan agar RIPH tetap digunakan.

Beberapa waktu yang lalu, Kepala Badan Karantina Pertanian (Barantan) Kementan tetap meminta meminta kesediaan para importir untuk menandatangani bahan evaluasi terkait RIPH.

Menurut Barantan, mereka akan mencatat importir apakah memiliki atau tidak memiliki RIPH hanya sebagai bahan evaluasi untuk Direktorat Jenderal Teknis penerbit RIPH, Satgas Pangan, Kemendag sebagai penerbit SPI, Kemenko Perekonomian, dan Kementerian/Lembaga lain yang membutuhkan.

Banyak pihak khawatir tentang soal bahwa meskipun disebut ketentuan soal RIPH hanya sebagai bahan evaluasi tetapi praktiknya tetap akan membuka kemungkinan bagi tidak lolosnya produk hortikultura impor dari karantina. Perkembangan terbaru menyebut bahwa keharusan menyertakan RIPH itu akan dibakukan dalam Permentan sebagai syarat karantina.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: