Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pentingnya Justice Transition Terhadap Perusahaan Batubara

Pentingnya Justice Transition Terhadap Perusahaan Batubara Kredit Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Warta Ekonomi, Jakarta -

Prinsip pengelolaan perusahaan yang baik dengan menerapkan aspek, Environment (Lingkungan), Social (Sosial), dan Governance telah menjadi topik pembicaraan seputar bisnis berkelanjutan dalam beberapa tahun terakhir.

Sebuah pengelolaan bisnis yang bertanggung jawab sejalan dengan prinsip-prinsip ESG diyakini dapat berimplikasi positif bukan hanya pada kinerja perusahaan, namun juga masyarakat dan lingkungan dimana perusahaan beroperasi.

Jalal, pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA, perusahaan yang operasinya dijalankan dengan menerapkan sejumlah aspek keberlanjutandiharapkan dapat memberikan dampak positif secara finansial.

"ESG itumerupakan langkah keberlanjutan sebuah organisasi atau perusahaan, dengan mengelola isu-isu lingkungan, sosial dan tata kelola yang akan relevan terhadap kinerja finansial perusahaan,” ujar Jalal baru-baru ini kepada media.

Sejauh ini hampir seluruh sektor industri mulai menerapkan operasional yang berkelanjutan dan menaruh perhatian khusus pada isu-isu seputar ESG.

Sebagai salah satu tolok ukurdan salah satu bukti kepedulian serta komitmen dalam menerapkan bisnis dengan berprinsip ESG, banyak perusahaan kini menerbitkan laporan keberlanjutan setiap tahunnya.

Bagi pihak eksternal perusahaan, laporan keberlanjutan ini akan menjadi informasi tindakan perusahaan dalam mengurangi dampak negatif bagi lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan.

Selain itu dengan menerbitkan laporan keberlanjutan, hal ini turut mendorong reputasi dan kredibilitas perusahaan.

Industri pertambangan, khususnya pertambangan batu bara yang kerap dikritisi sebagai industri yang berkontribusi cukup besar pada tingginya emisi karbon, telah turut serta menerapkan operasional perusahaan yang berkelanjutan dengan menerapkan prinsip-prinsip ESG.

Industri pertambangan tak bisa dibantah memiliki kontribusi signifikan dalam meningkatkan pendapatan negara bukan pajak, yang pada akhirnya bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat banyak.

Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada saat Peluncuran SIMBARA dan Penandatanganan MoU Sistem Terintegrasi dari Kegiatan Usaha Hulu Migas, Selasa (08/03/2022) penerimaan negara dari sektor pertambangan mineral dan batu bara (Minerba) membukukan angka Rp 124,4 triliun di 2021.

Nilai tersebut mencakup pajak, bea keluar, hingga Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dan merupakan penerimaan yang tertinggi dalam 5 tahun terakhir. Pencapaian rekor penerimaan negara dari sektor minerba tersebut dipicu oleh meningkatnya harga komoditas pertambangan, seperti batu bara.

Jalal melanjutkan, operasi pertambangan batu bara di Indonesia jelas memiliki imbas yang sangat signifikan terhadap perekonomian masyarakat sekitar. Tak hanya baik bagi perekonomian daerah, tapi juga lewat pajak serta keikutsertaan masyarakat dalam ketenagakerjaan.

Terkait penerapan operasional perusahaan secara berkelanjutan yang berdampak pada terbangunnya komitmen perusahaan melakukan transisi energi, Jalal menyoroti pentingnya sebuah justice transition atau transisi berkeadilan bagi industri batu bara di dalam negeri.

"Batu bara memang mau tidak mau harus dikurangi. Tetapi kita perlu menerapkan justice transition atau transisi yang adil karena keadilan antarnegara itu amat berbeda. Pengurangan bahan bakar fosil di negara maju dan negara berkembang seperti Indonesia tidak bisa disamakan kecepatannya. Negara berkembang seperti Indonesia seharusnya memiliki waktu transisi yang lebih lama,” kata Jalal.

Pasalnya, pada periode transisi perlu dicarikan pengganti sumber penghasilan bagi pihak-pihak yang kehilangan sumber ekonominya, khususnya para tenaga kerja yang selama ini menggantungkan mata pencahariannya pada pembangkit listrik tenaga batu bara, serta mereka yang bekerja di sektor pertambangan batu bara.

Justice transition juga terkait dengan nasib masyarakat konsumen, berupa jaminan untuk tetap mendapatkan pasokan listrik.

“Jangan sampai di saat kita mengupayakan transisi energi tapi kemudian justru menjadikan timbulnya disparitas energi. Tiba-tiba banyak orang yang tidak mendapatkan akses listrik karena efek dari transisi tersebut. Itu buruk sekali,” ujar Jalal.

Secara umum, lanjut Jalal, pada masa transisi ini dibutuhkan suatu strategi khusus untuk meminimalkan atau meniadakan dampak buruk yang akan dialami oleh masyarakat yang selama ini bergantung pada industri batu bara, termasuk masyarakat konsumen tenaga listrik yang selama ini mendapatkan pasokan listrik dari pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.

Masih menurut Jalal, pada periode transisi ini, para tenaga kerja yang selama ini bergantung pada operasi pertambangan bisa mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan kompetensi dan kapabilitasnya agar mereka tidak tertinggal dalam transisi industri pertambangan batu bara yang akan bertransisi.

Artinya, transisi energi juga seharusnya tidak hanya diterapkan pada entitas usaha yang harus bertransisi ke arah energi baru dan terbarukan semata, tetapi juga pada masyarakat sekitar yang selama ini bergantung pada operasi industri energi berbasis energi fosil.

Mengingat besarnya biaya dan investasi yang dibutuhkan dalam upaya transisi ini, sudah sewajarnya negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang pembangkit listriknya masih didominasi pembangkit berbasis energi fosil bisa memiliki waktu dan periode transisi yang berbeda dengan negara maju. Sehingga bisa terwujud sebuah periode transisi yang berkeadilan.

Jalal sendiri menilai justice transition inilah yang belum begitu dalam dipikirkan di Indonesia. Jalal juga berpendapat transisi energi harus dilihat sebagai sebuah transisi yang adil bagi semua pemangku kepentingan.

Jika transisi yang adil ini luput dalam penerapannya, ia menyebut sama saja dengan tidak menerapkan operasi keberlanjutan atau mempertimbangkan unsur ESG di dalamnya.

Sejauh ini Jalal menyambut baik penerapan ESG di sejumlah perusahaan tambang batu bara, kendati menurutnya masih perlu dilakukan peningkatan kualitas program ESG. Dalam pengelolaan isu sosial, demi mendapatkan license to operate, sejumlah perusahaan tambang batu bara menggelar beragam program keberlanjutan yang diharapkan mampu mengangkat harkat hidup masyarakat yang tinggal di sekitar area operasi perusahaan.

Sebagai contoh adalah kegiatan keberlanjutan yang dilakukan oleh kontraktor tambang batu bara PT Bukit Makmur Mandiri Utama (BUMA) dalam rangka meningkatkan kualitas masyarakat dengan mengembangkan potensinya, baik di lingkar tambang, maupun pekerja perempuan dan istri pekerja Program Wifepreneur BUMA merupakan wujud konkrit dalam pemberdayaan perempuan dengan harapan perempuan dapat berdaya ekonomi dan memiliki penghasilan yang berkelanjutan.

Selain pemberdayaan ekonomi, dalam dunia pendidikan, BUMA berupaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui BISA Ruang Vokasi dengan menghadirkan proses pembelajaran berbasis industri ke dalam kurikulum yang berbasis pendidikan untuk menjawab tantangan dunia industri. 

Dari sisi lingkungan, BUMA menerapkan Good Mining Practices (GMP) dengan terus mendorong efisiensi seperti mengurangi emisi melalui penggunaan Eco-On Devices pada unit peralataannya, serta program pengelolaan limbah dan juga pemanfaatan kembali air limbah domestik untuk dijadikan bahan sumber air baku.

Program-program lingkungan BUMA merupakan salah satu contoh langkah konkrit yang dilaksanakan untuk meminimalkan dampak kegiatan operasional tambang terhadap lingkungan dan mengembangkan bisnis yang berkelanjutan.

Contoh lain bisa dilihat melalui inisiatif yang dilakukan olehPT Berau Coal yang telah memboyong dua PROPER Emas melalui PT Berau Coal Site Lati dan PT Berau Coal Site Sambarata, lewat cara mengusung framework Berau Coal Green Mining Systems (BeGEMS) yang terintegrasi dengan kaidah teknik pertambangan yang baik.

Inovasi sosial yang dilakukan di Site Lati adalah Madunta, yaitu emas cair dari jantung hutan Kalimantan.

Tujuan program ini adalah mewujudkan kemandirian ekonomi warga komunitas adat terpencil Dayak Punan Basap di Lati melalui pengembangan usaha madu hutan yang menguntungkan dengan mengedepankan konservasi lingkungan.

Unsur-unsur dalam inovasi sosial yang dilaksanakan oleh PT Berau Coal antara lain kebaruan dengan inovasi pengelolaan madu hutan lestari dan pemasaran madu.

Unsur core competency dilakukan dengan transfer pengetahuan, dikembangkan berbasis Life Cycle Assesment (LCA), sensifitas dan daya responsif terhadap kondisi krisis akibat bencana.

Untuk inovasi lingkungan, lanjut Jalal adalah upaya yang telah dilakukan Berau Coal berupa penggunaan panel surya, mining eyes, beats and sintesis, waste oil processing plant, kidney lube, pengembangan tanamkan lokal, dan reklamasi kawasan eks tambang dengan tanaman lokal meranti.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: