Penjelasan Pakar Kenapa Ideologi Khilafatul Muslimin Bersumber dari Tafsir Menyimpang dan Sempit
Dipimpin Direktur Direktorat Reserse Kriminal Umum, Kombes Hengky Haryadi, Polda Metro Jaya menangkap pimpinan tertinggi Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Baraja, di Lampung, Selasa (7/6).
Para pakar dari berbagai bidang ilmu sepakat, ideologi khilafah yang diserukan sekelompok masyarakat itu, bukanlah ideologi yang kongkrit. Karenanya, tidak relevan bagi bangsa Indonesia pada masa kini dan mendatang.
Demikian benang merah pendapat pakar syariah, pakar filsafat bahasa, maupun pakar hukum menanggapi sepak terjang kelompok yang melakukan konvoi bendera khilafah beberapa waktu lalu tersebut.
"Dasar ideologi kelompok Khilafatul Muslimin adalah tafsir dan pemahaman sempit atas Al-Qur’an dan Hadist," ungkap ahli literasi dan ideologi dari Universitas Islam Negeri (UNJ) Jakarta, JM Muslimin, Selasa (7/6).
Diungkapkannya, sistem khilafah yang dimaksud dalam Al-Qur’an dan Hadist sebenarnya bukanlah dalam bentuk sistem pemerintahan atau negara. Tetapi, lebih mencerminkan kepemimpinan akhlak serta moral yang paripurna.
"Jadi, jelas pemahaman konsep Khilafatul Muslimin yang dikampanyekan kelompok tersebut tergolong menyimpang, menyesatkan serta membahayakan hukum ketertiban publik, jauh dari kemaslahatan dan kebaikan," tegasnya.
Mantan Wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta itu juga menyatakan, kelompok ini hanya menerima pandangan yang sesuai dengan pandangan mereka dan tidak menerima pandangan yang berbeda.
Lebih jauh Muslimin mengingatkan, kelompok seperti ini, dinilainya akan terus menyebarkan tafsir Islam sesuai pemahaman mereka yang menyesatkan. Karena itu, tak heran, mereka akan terus berupaya mendelegitimasi sistem sosial dan kenegaraan yang ada, dengan menyebutnya sebagai thogut (durjana).
"Dengan demikian apa yang dilakukan oleh mereka berpotensi membahayakan negara, menyebabkan munculnya tindakan sewenang-wenang dan merusak aturan yang berlaku sekaligus memberikan kesempatan untuk munculnya tindakan pidana yang menggunakan bahasa agama," bebernya.
Ahli filsafat bahasa Prof Dr Wahyu Wibowo berpandangan serupa. Dia mengungkapkan sejumlah kebohongan kelompok ini.
"Misalnya, yang bersangkutan mengklaim, Islam tidak ada toleransi. Makna dari kata-kata tersebut, Islam tidak memiliki sikap untuk menahan diri, tidak saling menghargai, tidak menghormati, tidak membiarkan pendapat pandangan kepercayaan antar sesama manusia yang bertentangan dengan dirinya sendiri. Kata-kata ini dapat dikategorikan sebagai berita bohong," tegasnya.
Dalam hal demokrasi, Prof Wahyu menyoroti pernyataan Abdul Qodir yang menyebutkan, aneh jika umat Islam mencoba untuk memadukan antara sistem Islam dan sistem demokrasi untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, akan ada benturan prinsip.
Karena itu, tidak mungkin bisa dibuat kompromi, kecuali dengan mengorbankan prinsip-prinsip Islam. Di titik inilah umat Islam akan selamanya menjadi pecundang.
Menurut Prof Wahyu, makna dari kata-kata Abdul Qodir tersebut adalah, Islam menolak segala macam yang datang dari olah pikir manusia. Oleh karena itu tidak bisa dibenarkan jika memadukan antara sistem Islam dengan sistem demokrasi.
"Dengan menyerukan umat Islam menarik diri dari kancah pesta demokrasi, Hasan Baraja menolak legitimasi hasil Pemilu dan Pilkada. Karena dianggap tidak legitimate, ya tinggal ganti dengan sistem Islam. Kata-kata ini tergolong bohong dan bersifat provokatif karena mengajak tidak berpartisipasi dalam Pemilu dan Pilkada," tutur Prof Wahyu.
Sementara Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pancasila Prof Dr Agus Surono, menegaskan, ceramah Abdul Qadir Baraja yang mengaku sebagai khalifah atau Amirul Mu'minin saat acara haflah PPUI Bekasi dapat dikualifikasikan dalam Pasal 14 Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 1946, tentang Peraturan Hukum Pidana.
Dalam ceramah yang diunggah pada 21 April 2021 itu dia menyebut, "hanya orang biadab yang mau tunduk dan patuh kepada aturan selain aturan Allah".
Selain itu, Prof Agus Surono menilai, orang-yang melakukan konvoi rombongan membagikan selebaran khilafah dikategorikan dalam Pasal 15 Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 1946, tentang Peraturan Hukum Pidana karena para peserta konvoi telah menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap.
"Sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat," tegas Prof. Agus Surono.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: