Sekitar 90,21 % masyarakat Indonesia memiliki akses air yang dapat dikategorikan layak, namun baru sekitar 12 % yang memiliki akses air yang dapat dikategorikan aman, yakni yang butuh satu kali pengolahan untuk bisa langsung dikonsumsi. Hal ini diutarakan oleh Direktur Perumahan dan Kawasan Permukiman, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Tri Dewi Virgiyanti dalam diskusi yang digelar secara daring, Rabu, (08/06/2022).
Tri Dewi Virgiyanti menjelaskan di Jakarta persentase akses masyarakat terhadap air layak dapat dikatakan tinggi, yakni mencapai sekitar 99 %, dan kurang dari satu persen yang belum memiliki akses. Namun sayangnya, akses air layak belum bisa menjawab sepenuhnya kebutuhan masyarakat. Karena keterbatasan akses air aman, maka masyarakat terpaksa mengkonsumsi air isi ulang maupun air kemasan. Hal serupa kata dia juga terjadi di kota-kota besar lainnya.
"Ada kecenderungan lain yang menguat di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Karena air di sumur perlu di treatment satu kali, bergeserlah mengandalkan air minum dalam kemasan atau isi ulang. Tapi berdasarkan studi, kualitas isi ulang jauh lebih rendah dari perpipaan. Sementara air kemasan harganya tidak terjangkau dan tidak selalu tersedia setiap saat. Artinya air minum kemasan dan isi ulang ini bukan akses," ujar Tri Dewi Virgiyanti.
Dia akui bahwa menghadirkan air aman untuk seluruh warga DKI Jakarta bukankah perkara mudah. Pasalnya ibukota sendiri untuk urusan air layak, masih harus mendatangkan air dari luar kota. Menurutnya sumber-sumber air aman layak di Jakarta hanya bisa mengakomodir sekitar 6 persen dari kebutuhan warga.
Direktur Pelayanan PAM JAYA, Syahrul Hasan, dalam kesempatan yang sama menambahkan bahwa baru sekitar 64 % warga yang mendapatkan pelayanan dari PAM Jaya. Sisanya sebanyak 36 % belum terlayani antara lain karena Jakarta masih kekurangan sumber air baku. Sumber-sumber air baku di Jakarta seperti sungai, danau maupun embung, tidak bisa menjawab pasokan untuk 36 % warga yang belum terlayani.
PAM Jaya, lanjutnya, punya target untuk mengakses semua warga ibukota paling lambat pada 2030 mendatang. Namun upaya tersebut tidak bisa dilakukan tanpa bantuan pihak lain. Menurut Syahrul Hasan dibutuhkan kerja sama dari banyak pihak mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga swasta, agar 36 % warga ibukota yang belum terlayani bisa mendapatkan akses,
"Apakah swasta bisa terlibat, saya rasa dimungkinkan. Apakah nanti di pengelolaannya, atau didistribusinya," kata Syahrul Hasan.
Bantuan pihak lain menurutnya sangat dibutuhkan, terlebih karena pandemi Covid-19. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sama seperti pemerintah daerah lain, mengalami permasalahan di anggaran akibat pandemi. PAM Jaya sendiri menurutnya diproyeksikan baru bisa menerima penanaman modal dari pemprov. paling cepat pada tahun 2026 mendatang.
Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Herry Trisaputra Zuna, yang juga merupakan narasumber pada diskusi, menerangkan bahwa sesuai Undang-Undang air diatur oleh negara. Namun untuk membantu sejumlah hal termasuk pendistribusian, pemerintah bisa menggandeng pihak swasta.
"Kalau berhubungan dengan masyarakat harus (dikelola) PDAM (atau) BUMD daerah. Tapi percepatan sambungan rumah, bisa dikerjasamakan, lingkupnya membangun," terangnya.
Menurut Herry Trisaputra Zuna penanganan permasalahan akses air di Jakarta, sudah diatur sejak lama. Penanganan tersebut kata dia melibatkan banyak pihak, termasuk pemerintah pusat. Herry Trisaputra Zuna menjelaskan bahwa yang perlu dilakukan sekarang adalah semua pihak konsisten dan mulai segera melakukan segala upaya agar target 2030 dapat tercapai.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Sufri Yuliardi
Editor: Sufri Yuliardi