Sebelumnya, balada kontroversi Tebet Eco Park mencuat tak kala warga dan pengguna jalan mengeluhkan kondisi di sekitar taman. Warga mengeluh karena banyaknya parkir liar dan pedagang kaki lima yang mangkal di wilayah tersebut, hingga timbullah beberapa persoalan seperti macet dan padatnya pengunjung pada hari kerja maupun akhir pekan.
Menanggapi kontroversi Tebet Eco Park, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan bahwa sejak tempat tersebut diresmikan, banyak warga dalam kota maupun luar kota, datang berbondong-bondong untuk bisa menikmati keasrian alam di tengah kota. Berbagai segmen usia dan kelas ekonomi datang hanya untuk menjelajah taman dan fasilitasnya.
Anies mengatakan Tebet Eco Park dibangun dan diresmikan agar warga bisa menikmati suasana hutan kota dan edukasi tentang lingkungan hidup. Titik wilayah taman tersebut juga dirancang Pemprov DKI sebagai zona emisi rendah guna mengurangi jumlah polusi udara di wilayah Jakarta.
Kendati demikian, Anies mengatakan bahwa tempat dengan kapasitas maksimal sebesar 8-10 ribu pengunjung membludak melebihi batas normal. Bahkan, Anies mengatakan bahwa meledaknya angka pengunjung mencapai 60 warga dalam satu hari diakhir pekan. Kondisi yang demikian padatnya dinilai Anies sebagai parade kepadatan ekstrem.
Dengan kondisi yang demikian padatnya, Anies menilai bahwa kadar kemanfaatan yang bisa didapatkan pengunjung atas Tebet Eco Park menjadi sangat berkurang. Menurutnya, tujuan pengunjung untuk menikmati berbagai manfaat taman tidak akan tercapai jika kepadatannya begitu ekstrem.
"Suasana taman lebih menyerupai festival daripada taman kota," kata Anies, Kamis (16/6/22)
Berdasarkan data yang Anies peroleh, keputusan penutupan sementara Tebet Eco Park tercapai. Jumlah pengunjung di hari kerja maupun akhir pekan akan dibatasi sesuai dengan daya tampung taman, katanya. Dia juga mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan penertiban dan juga mengkaji tata laksana operasional taman dengan mengedepankan kebersihan lingkungan baik di dalam taman, maupun di luar, serta mengkaji terkait dengan penanganan kemacetan yang timbul dari keluar-masuknya kendaraan pengunjung.
Seberapa Penting Ruang Terbuka Hijau (RTH) ?
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) telah ditetapkan bahwa 30% wilayah kota harus berupa RTH yang terdiri dari 20% publik dan 10% privat. Berdasarkan perundang-undangan yang senada, Peraturan Menteri PU Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Ruang Terbuka Hijau publik adalah yang dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.
Mengutip dari laman Dinas Lingkungan Hidup Buleleng, Bali, ada beberapa tujuan utama dari dibangunnya RTH di perkotaan atau wilayah-wilayah tertentu:
Pertama, RTH dibutuhkan untuk menjaga keselarasan hidup masyarakat. Keselarasan hidup tersebut didapat tak kala lingkungan hidup berbasis alam yang asri, bisa seimbang kehadirannya dengan lingkungan hidup binaan.
Kedua, RTH dibutuhkan untuk menanggulangi terjadinya banjir yang disebabkan oleh kurangnya lahan resapan air di wilayah tertentu, khususnya perkotaan. Keasrian alam yang ada pada RTH, dinilai mampu menyerap genangan yang meluap akibat curah hujan yang tinggi.
Ketiga, RTH juga dipercaya bisa mengurangi potensi terjadinya perubahan iklim, masa tanah yang mengakibatkan erosi, juga badai yang berpotensi memporak-porandakan pemukiman penduduk. Keempat, RTH dinilai bisa memberi nilai artistik pada tata kelola kota dengan keasrian dari rimbun dan sejuknya pepohonan.
Sementara dalam pembangunannya, terdapat beberapa konsep yang dipercaya bisa memberikan kemanfaatan dari dibangunnya RTH. Eco Cultural City, misalnya. Konsep yang mengusung tema budaya sehingga memberikan manfaat dari segi pelestarian budaya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Andi Hidayat
Editor: Bayu Muhardianto