Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Hasil Survei: Penolakan Orang Berlatar Belakang FPI Menjadi Tetangga, Guru Negeri, dan Pejabat Publik Tidak Mencapai 50 Persen

Hasil Survei: Penolakan Orang Berlatar Belakang FPI Menjadi Tetangga, Guru Negeri, dan Pejabat Publik Tidak Mencapai 50 Persen Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Lembaga survei Saiful Mujani Research And Consulting (SMRC) melakukan survei tekait tingkat intoleransi pada Komunis, ISIS, LGBT, Ateis, dan Yahudi.

Dalam survei kali ini, SMRC menetapkan 3 indikator utama yakni kesediaan bertetangga, pekerjaan, dan menjadi pejabat publik.

Dalam survei tersebut, didapati mayoritas warga menolak orang dengan latar belakang Komunis (PKI), ISIS, LGBT, Ateis, dan Yahudi.

Selengkapnya mengenai survei tersebut:

Baca Juga: Hasil Survei: Mayoritas Warga Menolak LGBT Menjadi Tetangga, Guru Sekolah Negeri, dan Pejabat Publik

Baca Juga: Hasil Survei: Mayoritas Warga Menolak Orang Berlatar Belakang PKI dan ISIS Menjadi Tetangga, Guru Sekolah Negeri, dan Pejabat Publik

Baca Juga: Hasil Survei: Mayoritas Warga Menolak Orang Berlatar Belakang Yahudi Menjadi Tetangga, Guru Sekolah Negeri, dan Pejabat Publik

SMRC juga memasukkan kelompok-kelompok yang sudah dilarang di Indonesia, seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Negara Islam Indonesia (NII).

Terkait FPI, warga atau responden yang menolak orang-orang dengan latar belakang organisasi tersebut menjadi tetangga mendapat angka 34 persen.

Dalam hal pekerjaan yang difokuskan pada guru sekolah negeri, angka keberatan pada orang berlatar belakang FPI mencapai 37 Persen.

Sedangkan untuk menjadi pejabat publik, angka penolakan terhadap orang-orang berlatar belakang FPI juga tidak mencapai 50 persen yakni 41 persen.

Menurut Pendiri SMRC, Saiful Mujani, sumber intoleransi di samping nilai-nilai yang dianut dan tidak disetujui oleh masyarakat, juga mencakup aspek legalnya, yakni jika negara tidak mengakui.

“Faktor negara seperti undang-undang dan ideologi yang dianut negara membentuk perilaku masyarakat,” jelas Saiful sebagaimana dalam keterangan resmi yang diterima redaksi wartaekonomi.co.id, dikutip Jumat (24/6/22).

Saiful juga mengatakan bahwa isu toleransi masih jadi masalah serius di Indonesia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Bayu Muhardianto
Editor: Bayu Muhardianto

Bagikan Artikel: