Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Siasat CEO Dekoruma Penuhi Kebutuhan Interior Masyarakat Indonesia

Siasat CEO Dekoruma Penuhi Kebutuhan Interior Masyarakat Indonesia Kredit Foto: Dekoruma

Tantangan paling besar saat 2015-2016 itu bagaimana caranya meyakinkan konsumen untuk belanja sofa online. Dulu untuk jualan baju [online] aja orang masih deg-degan ya. Jadi, tantangannya itu bagaimana caranya kami membangun brand, supply chain, logistik, aplikasi, internet, website yang benar-benar sesuai dan bisa meyakinkan kalau ini sofanya legit loh bahasanya dan kalau dibeli tidak akan kenapa-napa. Jadi, itu tantangan pertama dan terberat.

Kedua, dari supply chain. Yang terjadi adalah industri furnitur Indonesia itu kuat, tapi mungkin yang berubah adalah karena lokalnya itu dari yang besar-besar jadi kecil, sebenarnya pelaku eksportir pabrik furnitur itu kan kebanyakan ekspor ke luar negeri, ke Amerika dan Eropa, itu besar-besar. Jadi, di awal kami masih berusaha meyakinkan partner bahwa bisnis di Indonesia itu akan besar. Tapi secara model tidak sama dengan barang-barang yang dijual ke Amerika dan Eropa. Karena itu tadi, demografinya beda. Jadi, [tantangan] kedua itu bagaimana membangun supply chain. Itu sih yang paling sulit.

Konsep Japandi yang menjadi khas Dekoruma diusung untuk memenuhi kebutuhan rumah kecil. Apakah boleh dijelaskan lebih lanjut bagaimana konsep Japandi ini dapat menjawab kebutuhan rumah kecil? Mengapa secara spesifik memilih konsep Japandi?

Jadi, sebenarnya [konsep] itu datang dari japanese-scandinavian ya. Pertama, japanese. Di Jepang, rumahnya itu kecil. Jadi, kami melihat di satu dunia ini sebenarnya di mana sih yang perumahannya mirip dengan Indonesia. Di Jepang itu, rumah-rumah kecil. Tapi, meskipun kecil, sangat sarat dengan yang namanya multifungsi. Jadi, meskipun kecil, tapi tetap nyaman. Di situlah konsep space-saving itu lahir.

Basically, kami melihat negara Jepang mempunyai problem yang sama, nih, dengan problem milenial sekarang.

Lalu, scandinavian. Perbedaannya, di Jepang itu benar multifungsi, tapi monoton. Sama semuanya, sama-sama cokelat dan putih. Kami melihat Indonesia tidak cocok [dengan konsep monoton], karena Indonesia kan periang ya, tidak suka yang datar-datar. Jadi, scandinavian itu memberikan konsep yang meskipun basisnya putih, tapi ada corak-corak yang membuat [desain] lebih hidup.

Jadi, ini kami gabungkan dan melahirkan Dekoruma, yang merupakan gabungan dari japanese-scandinavian.

Kalau terkait software Thudio, bagaimana kinerjanya saat ini? Pada aspek apa Thudio berperan penting dalam membantu para desainer?

Zaman dulu sebelum kami berhasil membuat Thudio, kami mengerjakan proyek bisa 20 sebulan, itu pusing dan berantakan, barangnya ada di mana dan segala macam [problem]. Dengan ada ekosistem Thudio, dari desain sampai supply chain, sekarang itu Dekoruma bisa managing sekitar 500-600 proyek. Jadi, secara bersamaan nih, ada 600 proyek yang kami bikin. Dan itu tidak mungkin tanpa teknologi, karena kalau tidak, konsumen bisa marah-marah semua.

Jadi, itu benar-benar membantu untuk mendigitalisasikan mulai dari bagaimana caranya mendesain, barang yang available. Karena kalau dulu, kami mendesain tapi barangnya ambil dari Google, tapi itu barangnya ada di Indonesia. Itu jadinya problem, karena tidak bisa dibeli dan harganya tidak jelas.

Dan sejak dua tahun terakhir, Thudio yang awalnya dipakai hanya internal, kami sudah rilis ke publik. Jadi, sebenarnya itu sudah bisa di-download teman-teman [desainer] interior dan arsitek, for free. Jadi, bisa mengakses teknologi, database, hingga produk yang kami punya.

Sejauh ini, sudah hampir 100 ribu users yang menggunakan itu [Thudio]. Kami juga bekerja sama dengan universitas sekarang. Tujuannya sama, kami investasi banyak untuk bikin teknologi, dan kami tahu itu membawa perubahan buat kami dan kami ingin memberikan ini untuk teman-teman semua.

Dekoruma sudah menjajaki lini bisnis penjualan dan dekorasi, jasa desain interior, hingga penjualan properti. Dari semua lini bisnis itu, mana yang kinerjanya berkontribusi paling signifikan terhadap Dekoruma?

Paling signifikan itu masih di ritel dan [jasa desain] interior karena propertinya masih baru, masih hampir dua tahun, jadi masih kecil dibanding yang lain. Tapi kalau ritel dan interior itu mungkin sekarang kami nomor tiga nationwide. Masih nomor tiga, tapi kami akan coba pelan-pelan merangkap masuk ke nomor dua.

Adakah lini bisnis lain yang belum dijangkau Dekoruma dan ingin dikejar?

Belum sih, masih fokus di tiga itu. Saat ini kami benar-benar masih fokus dengan ritel dan interiornya.

Pemain seperti Dekoruma saat ini sudah banyak di pasar. Bagaimana strategi Dekoruma untuk menjaga loyalitas konsumen terhadap Dekoruma?

Pertama adalah produk yang baik, affordable, stylish, mengerti apa yang dibutuhkan sama konsumen. Bukan hanya terlihat bagus dan cantik, tetapi benar-benar bisa menjawab kebutuhan konsumen.

Kedua, servis yang baik juga. Kami sadar kami belum sempurna, masih ada komplain atau konsumen yang tidak happy, tapi sebisa mungkin kami membantu menyelesaikan masalah secepat-cepatnya.

Ketiga, konsep dari online dan offline. Karena kami, mungkin, satu-satunya di Indonesia yang benar-benar bisa menggabungkan konsep online-to-offline, offline-to-online secara masif. Jadi, orang mungkin melihat Dekoruma di website, tertarik lihat ke Dekoruma Experience Center, bisa beli langsung atau balik lagi. Jadi, konsep ini yang bisa membantu kami berkembang terus selama ini.

Saat ini, Dekoruma sedang gencar melakukan ekspansi ke berbagai kota. Selain ekspansi, apa lagi target yang Anda harapkan untuk Dekoruma?

Target kami di 2024 atau 2025 itu kami rencana untuk public listing atau IPO. Jadi itu rencana jangka menengah, dalam tiga sampai lima tahun lagi kami ingin terus berkembang dan benar-benar listing di Indonesia.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: