Siasat CEO Dekoruma Penuhi Kebutuhan Interior Masyarakat Indonesia
Perlengkapan interior, yakni furnitur beserta dekorasinya, memiliki peranan penting dalam menciptakan suasana rumah yang nyaman sekaligus menawan, terutama apabila didukung dengan desain yang sesuai dengan kebutuhan. Peluang ini yang dilihat oleh Dimas Harry Priawan, CEO dan Co-Founder Dekoruma.
Dekoruma merupakan perusahaan berbasis teknologi yang menawarkan produk-produk furnitur hingga jasa desain interior. Meski berbasis teknologi, namun Dekoruma juga menyasar segmen offline, yang tercermin melalui ekspansi Dekoruma Experience Center yang masif. Selain itu, sejak dua tahun belakangan, Dekoruma juga mulai merambat ke lini bisnis properti.
Dimas menceritakan dia dan rekannya, Aruna Harsa, melihat potensi yang cerah di sektor furnitur beberapa tahun silam. Sebelum mendirikan Dekoruma, terjadi pergeseran tren permintaan properti lantaran harganya yang melonjak tinggi. Meski harganya melambung, namun ukuran rumah makin mengecil.
Baca Juga: Dekoruma Resmikan Gerai Experience Center ke-17 di Bintaro Jaya Xchange Mall
“Animo atau ekspektasi masyarakat terhadap furnitur itu akan berubah. Mereka pasti butuh furnitur yang space-saving, multifungsi,” ujarnya saat diwawancarai oleh Warta Ekonomi usai peresmian gerai baru Dekoruma Experience Center di Bintaro Jaya Xchange Mall, Tangerang Selatan, Jumat (22/7/2022).
Berangkat dari kondisi itu, Dimas bersama tim mulai melakukan riset tentang konsep yang dapat diusung oleh Dekoruma untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Situasi ini yang akhirnya melahirkan ide konsep Japandi.
“Rumah di Jepang kecil tapi sangat sarat dengan yang namanya multifungsi. Di situlah konsep space-saving lahir. Tapi, Indonesia tidak cocok dengan konsep monoton. Jadi, kami gabungkan dengan konsep Skandinavia yang, meski basisnya putih, tapi tetap ada corak-corak sehingga lebih hidup,” jelas Dimas.
Untuk mengetahui lebih detail mengenai perjalanan Dimas bersama Dekoruma, berikut wawancara lengkap Warta Ekonomi dengan CEO Dekoruma.
Saat mendirikan Dekoruma di 2015 lalu, Anda memilih bisnis papan karena belum banyak pemain yang berkecimpung di sektor ini. Apa yang membuat Anda yakin bisnis furnitur memiliki potensi yang cerah untuk dijajaki?
Jadi orang tua kami, saya dan partner saya Arun, datang dari dunia property developer. Satu hal yang kami lihat di 2012-2013 itu, bisa kita bilang, evolusi ya di dunia perumahan. Karena sebelum itu, developer itu membangunnya rumah landed. Tapi sejak 2012-2013, harga rumah itu dua kali lipat dalam dua-tiga tahun dan tiba-tiba semuanya bangun apartemen. Di situ kami melihat kalau harga rumah makin tinggi, orang sudah masuk apartemen, yang terjadi adalah animo atau ekspektasi masyarakat terhadap furnitur itu akan berubah. Mereka pasti butuh furnitur yang space-saving, multifungsi, pasti butuh kitchen set.
Kami juga melihat kalau [properti] dibangun di 2012-2013, hand over-nya pasti di sekitar 2019-2020. Jadi, di situ kami yakin pasti secara demand [furnitur] itu kan besar sekali ya, tapi akan jadi jauh lebih besar lagi.
Meski potensial, tetapi penjualan furnitur, khususnya secara daring, belum begitu awam bagi masyarakat pada era itu. Tantangan apa saja yang dihadapi Dekoruma untuk bisa lebih mengakrabkan diri dengan konsumen?
Dulu tantangan pertama di online ya karena kita tahu bisnis furnitur itu besar tapi tidak mudah, karena harus bikin toko, warehouse, stok barang, desain, segala macam. Jadi, kami mulai dari online, marketplace. Kami tidak ada barang, kami hanya ada online.
Tantangan paling besar saat 2015-2016 itu bagaimana caranya meyakinkan konsumen untuk belanja sofa online. Dulu untuk jualan baju [online] aja orang masih deg-degan ya. Jadi, tantangannya itu bagaimana caranya kami membangun brand, supply chain, logistik, aplikasi, internet, website yang benar-benar sesuai dan bisa meyakinkan kalau ini sofanya legit loh bahasanya dan kalau dibeli tidak akan kenapa-napa. Jadi, itu tantangan pertama dan terberat.
Kedua, dari supply chain. Yang terjadi adalah industri furnitur Indonesia itu kuat, tapi mungkin yang berubah adalah karena lokalnya itu dari yang besar-besar jadi kecil, sebenarnya pelaku eksportir pabrik furnitur itu kan kebanyakan ekspor ke luar negeri, ke Amerika dan Eropa, itu besar-besar. Jadi, di awal kami masih berusaha meyakinkan partner bahwa bisnis di Indonesia itu akan besar. Tapi secara model tidak sama dengan barang-barang yang dijual ke Amerika dan Eropa. Karena itu tadi, demografinya beda. Jadi, [tantangan] kedua itu bagaimana membangun supply chain. Itu sih yang paling sulit.
Konsep Japandi yang menjadi khas Dekoruma diusung untuk memenuhi kebutuhan rumah kecil. Apakah boleh dijelaskan lebih lanjut bagaimana konsep Japandi ini dapat menjawab kebutuhan rumah kecil? Mengapa secara spesifik memilih konsep Japandi?
Jadi, sebenarnya [konsep] itu datang dari japanese-scandinavian ya. Pertama, japanese. Di Jepang, rumahnya itu kecil. Jadi, kami melihat di satu dunia ini sebenarnya di mana sih yang perumahannya mirip dengan Indonesia. Di Jepang itu, rumah-rumah kecil. Tapi, meskipun kecil, sangat sarat dengan yang namanya multifungsi. Jadi, meskipun kecil, tapi tetap nyaman. Di situlah konsep space-saving itu lahir.
Basically, kami melihat negara Jepang mempunyai problem yang sama, nih, dengan problem milenial sekarang.
Lalu, scandinavian. Perbedaannya, di Jepang itu benar multifungsi, tapi monoton. Sama semuanya, sama-sama cokelat dan putih. Kami melihat Indonesia tidak cocok [dengan konsep monoton], karena Indonesia kan periang ya, tidak suka yang datar-datar. Jadi, scandinavian itu memberikan konsep yang meskipun basisnya putih, tapi ada corak-corak yang membuat [desain] lebih hidup.
Jadi, ini kami gabungkan dan melahirkan Dekoruma, yang merupakan gabungan dari japanese-scandinavian.
Kalau terkait software Thudio, bagaimana kinerjanya saat ini? Pada aspek apa Thudio berperan penting dalam membantu para desainer?
Zaman dulu sebelum kami berhasil membuat Thudio, kami mengerjakan proyek bisa 20 sebulan, itu pusing dan berantakan, barangnya ada di mana dan segala macam [problem]. Dengan ada ekosistem Thudio, dari desain sampai supply chain, sekarang itu Dekoruma bisa managing sekitar 500-600 proyek. Jadi, secara bersamaan nih, ada 600 proyek yang kami bikin. Dan itu tidak mungkin tanpa teknologi, karena kalau tidak, konsumen bisa marah-marah semua.
Jadi, itu benar-benar membantu untuk mendigitalisasikan mulai dari bagaimana caranya mendesain, barang yang available. Karena kalau dulu, kami mendesain tapi barangnya ambil dari Google, tapi itu barangnya ada di Indonesia. Itu jadinya problem, karena tidak bisa dibeli dan harganya tidak jelas.
Dan sejak dua tahun terakhir, Thudio yang awalnya dipakai hanya internal, kami sudah rilis ke publik. Jadi, sebenarnya itu sudah bisa di-download teman-teman [desainer] interior dan arsitek, for free. Jadi, bisa mengakses teknologi, database, hingga produk yang kami punya.
Sejauh ini, sudah hampir 100 ribu users yang menggunakan itu [Thudio]. Kami juga bekerja sama dengan universitas sekarang. Tujuannya sama, kami investasi banyak untuk bikin teknologi, dan kami tahu itu membawa perubahan buat kami dan kami ingin memberikan ini untuk teman-teman semua.
Dekoruma sudah menjajaki lini bisnis penjualan dan dekorasi, jasa desain interior, hingga penjualan properti. Dari semua lini bisnis itu, mana yang kinerjanya berkontribusi paling signifikan terhadap Dekoruma?
Paling signifikan itu masih di ritel dan [jasa desain] interior karena propertinya masih baru, masih hampir dua tahun, jadi masih kecil dibanding yang lain. Tapi kalau ritel dan interior itu mungkin sekarang kami nomor tiga nationwide. Masih nomor tiga, tapi kami akan coba pelan-pelan merangkap masuk ke nomor dua.
Adakah lini bisnis lain yang belum dijangkau Dekoruma dan ingin dikejar?
Belum sih, masih fokus di tiga itu. Saat ini kami benar-benar masih fokus dengan ritel dan interiornya.
Pemain seperti Dekoruma saat ini sudah banyak di pasar. Bagaimana strategi Dekoruma untuk menjaga loyalitas konsumen terhadap Dekoruma?
Pertama adalah produk yang baik, affordable, stylish, mengerti apa yang dibutuhkan sama konsumen. Bukan hanya terlihat bagus dan cantik, tetapi benar-benar bisa menjawab kebutuhan konsumen.
Kedua, servis yang baik juga. Kami sadar kami belum sempurna, masih ada komplain atau konsumen yang tidak happy, tapi sebisa mungkin kami membantu menyelesaikan masalah secepat-cepatnya.
Ketiga, konsep dari online dan offline. Karena kami, mungkin, satu-satunya di Indonesia yang benar-benar bisa menggabungkan konsep online-to-offline, offline-to-online secara masif. Jadi, orang mungkin melihat Dekoruma di website, tertarik lihat ke Dekoruma Experience Center, bisa beli langsung atau balik lagi. Jadi, konsep ini yang bisa membantu kami berkembang terus selama ini.
Saat ini, Dekoruma sedang gencar melakukan ekspansi ke berbagai kota. Selain ekspansi, apa lagi target yang Anda harapkan untuk Dekoruma?
Target kami di 2024 atau 2025 itu kami rencana untuk public listing atau IPO. Jadi itu rencana jangka menengah, dalam tiga sampai lima tahun lagi kami ingin terus berkembang dan benar-benar listing di Indonesia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Rosmayanti