Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Perlu Adanya Kerja Sama Negara ASEAN untuk Capai Target Bauran EBT

Perlu Adanya Kerja Sama Negara ASEAN untuk Capai Target Bauran EBT Kredit Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Warta Ekonomi, Jakarta -

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebut untuk dapat mengejar target bauran energi terbarukan 23 persen pada tahun 2025 di kawasan Asia Tenggara perlu adanya kerja sama yang kuat.

Kerja sama antarnegara di kawasan Asia Tenggara ini untuk mendorong transisi energi yang berkelanjutan serta mengalihkan investasi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. 

Menurutnya, saat ini Asia Tenggara tengah berkembang menjadi kawasan dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di Asia setelah China, sehingga permintaan energi akan terus meningkat ke depannya.

Baca Juga: Potensi EBT Indonesia Lengkap, Harus Dimanfaatkan secara Optimal

"Banyak negara di kawasan Asia Tenggara yang masih bergantung pada energi fosil seperti batu bara, gas, dan minyak. Sementara Asia Tenggara merupakan kawasan yang rentan terhadap dampak krisis iklim. Upaya kolaboratif untuk beralih dari energi fosil ke energi terbarukan di kawasan ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada usaha global mencapai tujuan Persetujuan Paris," ujar Fabby dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (2/8/2022).

Senior Researcher on Renewable Energy Institute for Essential Service Reform (IESR), Handriyanti Puspitarini mengatakan berdasarkan kajian IESR jika tidak ada perbaikan kebijakan, maka Indonesia hanya akan mencapai 15 persen bauran energi terbarukan di 2025 dan 23 persen di 2030.

"Jika melihat tren dari 2013-2021, pangsa energi terbarukan meningkat meski lambat. Padahal berdasarkan kajian IESR, Indonesia punya potensi teknis energi terbarukan lebih dari 7.000 GW. Sedangkan yang sudah dimanfaatkan hanya 11,2 GW saja," ujar Handriyanti. 

Ia menilai lamanya pengurusan izin dan rumitnya mekanisme pengadaan proyek energi terbarukan di Indonesia membuat para investor enggan berinvestasi di Indonesia.

"Indonesia perlu meningkatkan aspek politik, aturan kebijakan dan finansial untuk mendorong pengembangan energi terbarukan yang lebih masif, terutama berdasarkan hasil kajian IESR, kesadaran publik terhadap transisi energi dan perubahan iklim mulai meningkat," ungkapnya. 

Di sisi lain, pada 2021, komitmen untuk meningkatkan target bauran energi terbarukan Malaysia disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Malaysia melalui Rencana Transisi Energi Malaysia hingga tahun 2040.

"Malaysia meningkatkan target bauran energi terbarukan dari semula 20 persen di tahun 2025 menjadi 31 persen di 2025 dan 40 persen di 2030. Malaysia juga berkomitmen untuk tidak lagi membangun PLTU batu bara baru untuk mencapai netral karbon secepatnya pada 2050," ujar Anthony Tan, Executive Officer (Sustainability & Finance), All Party Parliamentary Group Malaysia on Sustainable Development Goals(APPGM-SDG).

Meski begitu, Anthony menyebut pemerintah Malaysia perlu pula mendorong upaya efisiensi energi dan transportasi yang berkelanjutan secara holistik.

"Malaysia membutuhkan kebijakan energi nasional yang holistik. Selain itu, Malaysia perlu mengembangkan atau mengubah Kebijakan Otomotif Nasional menjadi Kebijakan Transportasi Nasional holistik untuk mengurangi penggunaan energi fosil di sektor transportasi," ungkapnya.

Sementara itu, komitmen Vietnam untuk mencapai bebas emisi pada 2050 juga disampaikan oleh Nguyen Thi Ha, Sustainable Energy Program Manager Green Innovation and Development Centre (GREENID). Menurutnya, Vietnam berkomitmen untuk menghentikan pengoperasian 7-8 GW PLTU untuk mendukung dekarbonisasi sistem energi dengan peningkatan bauran energi terbarukan di PLTB lepas pantai sebesar 11,7 GW (9,7%) di 2030.

Sedangkan PLTB daratan sebesar 30 GW (10,5) di 2045. Taman panel surya (solar park) sendiri, sementara akan mencapai 8,7 GW (7,2%) di 2030, dan akan meningkat 20,6% di 2045.

"Demi mencapai bebas emisi, membutuhkan investasi yang signifikan pada sektor energi, transportasi, pertanian, dan industri. Berdasarkan kajian World Bank, total pembiayaan yang dibutuhkan untuk dekarbonisasi sekitar US$114 miliar pada 2022-2040," ujar Thi Ha.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: