Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pemerintah Butuh Keberanian Politik untuk Merdeka dari Energi Fosil

Pemerintah Butuh Keberanian Politik untuk Merdeka dari Energi Fosil Kredit Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sumber listrik Indonesia yang sebagian besarnya disalurkan melalui Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dinilai menjadi faktor Indonesia belum dapat merdeka dari energi fosil.

"Indonesia saat ini belum merdeka dari energi fosil karena kita masih tergantung sekali pada energi batu bara dan kita masih terjebak dalam over supply dan carbon lock in," ujar Climate and Energy Campaigner Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari dalam diskusi virtual, Kamis (18/8/2022).

Adila mengatakan, untuk dapat keluar dari ketergantungan akan energi fosil, maka diperlukan keberanian politik dari pemerintah yang diiringi dengan inovasi dan kerja sama dengan beberapa pihak terkait.

Baca Juga: Pembangunan PLTU Baru dalam RUPTL Terbaru Bertentangan dengan Target NZE

Untuk mencapai itu semua, Adila menilai ada beberapa hal yang perlu pemerintah lakukan, yang pertama, mempercepat transisi energi dan juga phase out di 2040.

"Dan tentunya diperlukan kepemimpinan dari pemerintah untuk melakukan hal ini sebagaimana kita melihat kepemimpinan pemerintah dalam misalkan membuat infrastruktur atau membuat IKN, jadi pemerintah sangat aktif dalam membuat Undang-undangnya dan mencarikan dananya, jadi bayangkan kemimpinan ini ada untuk transisi energi dan untuk phase out pastinya akan lebih mudah," ujarnya. 

Lanjutnya, dengan menghentikan pembangunan 13,8 gigawat PLTU batu bara baru, selain agar tidak terjadi over supply dan carbon lock in, nantinya pembangkit baru tersebut dirasa tidak dapat digunakan.

Harga batu bara saat ini sudah melonjak berbanding terbalik dengan harga energi baru terbarukan (EBT) yang kian tahun makin murah akibat teknologi yang terus berkembang.

"PLTU batu bara baru mau diapakan ketika sudah dibangun dan ketika nantinya biayanya semakin mahal dan tidak bisa bersaing dengan EBT, dan banyak sekali tekanan dari kebijakan internasional untuk mempercepat phase out," ungkapnya.

Lanjutnya, pemerintah juga perlu mempercepat pembangunan energi baru terbarukan dan memberikan insentif kepada para pelaku di bidang EBT. 

"Ini juga bisa dilakukan dengan memprioritaskan EBT untuk memberikan insentif, dan juga kita bisa memasukan ongkos lingkungan, ongkos krisis iklim, ongkos kesehatan terhadap harga dari energi fosil atau batu bara, salah satunya dengan pajak karbon yang sesuai dan bisa makin bersaing EBT-nya, dan pastinya untuk menetralisasi pajak karbon harus ada insentif untuk EBT, jadi shifting terjadi dari fosil ke EBT," paparnya.

Selain itu, ia berharap pemerintah tidak memberikan solusi palsu yang tercantum dalam Rancangan Undang-undang (RUU) EBTKE, di mana di dalamnya terdapat energi baru yang bersumber dari batu bara dicairkan maupun dibentuk gas.

"Jadi balik lagi ke energi batu bara, dan kita tidak akan bisa merdeka dari energi fosil jika solusi tersebut yang ditawarkan," tutupnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: